Kamis, 27 Oktober 2011

    KAJIAN ILMU KALAM DI IAIN
M. Amin Abdullah
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam (`ilm al-kalâm) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam. Lima fakultas di lingkungan IAIN1  (Adab, Dakwah, Syari'ah, Tarbiyah dan Ushuluddin) seluruhnya mengajarkan ilmu kalam dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sedemikian kokohnya kedudukan ilmu kalam dalam studi-studi keislaman sehingga nyaris terlupakan sisi historisitas bangunan pola pikir, logika, metodologi dan sisitematika keilmuam kalam itu sendiri, yang pada gilirannya terlupakan pula agenda pengembangannya. Bagaimana sejarah perkembangan "teori-teori" ilmu kalam, model/tipe logika apa yang biasa digunakan oleh para penggunanya, faktor apa saja yang mendorong menguatnya pengaruh pendekatan kalam dalam keberagamaan Islam? Mengapa kemudian muncul ke permukaan pendekatan tasawuf menjadi counter terhadap model dan corak pendekatan kalam? Kritik terhadap model pendekatan kalam oleh ulama klasik begitu gencar, tetapi mengapa ia tetap bertahan kokoh seperti sediakala, bahkan belakangan terkesan "diproteksi" oleh berbagai kepentingan sosial-politik yang selalu mengelilinginya?
Pada era globalisasi agama dan budaya, umat Islam di seantero dunia secara alamiah harus bersentuhan dan bergaul dengan budaya dan agama orang lain. Sering kali dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak siap-ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Adanya jarak yang terlalu lebar antara "teori" dan "praksis" dalam kajian kalam, antara "idealitas" dan "relitas", antara "teks" dan "konteks", mendorong munculnya pertanyaan yang bersifat akademis: bagaimana hal demikian dapat dijelaskan? Mengapa materi ilmu kalam, lebih-lebih aspek metodologinya, tidak dapat dikembangkan sedemikian rupa --tidak seperti halnya yang terjadi pada disiplin-disiplin ilmu yang lain-sehingga diharapkan dapat memberi bekal yang cukup bagi konsumennya untuk mengarungi samudra kehidupan era baru era industri dan post industri? Mengapa seringkali timbul dalam diri umat Islam bahwa mereka adalah selalu minoritas, padahal dalam statistik mereka adalah mayoritas? Mengapa umat Islam mengalami disartikulasi politik meskipun mereka mayoritas? Adakah andil yang diduga dapat disumbangkan oleh ilmu kalam dalam konfliks etnik, ras, suku, dan agama?
Menurut pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya, lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun. Lebih lanjut dikatakan bahwa: "philosophy is, however, a perennial intellectual need and has to be allowed to flourish both for its own sake of other disciplines, since it inculcates a much-needed analytical-critical spirit and generates mew ideas that become important intellectual tools for other sciences not least for religion and theology. Therefore a people that deprives itself of philosophy necessarily exposes itself to starvation in terms of fresh ideas - in fact it commits intellectual suicide". Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut: "Bagaiamanapun juga filsafat adalah merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Hal demikian dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersifat kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi (kalam). Oleh karenanya, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energi dan kelesuan darah -dalam arti kekurangan ide-ide segar-dan lebih dari itu, ia telah melakukan bunuh diri intelektual."2
Kelesuan berpikir dan berijtihad dalam bidang ilmu kalam bukannya hanya datang belakangan ini. Menurut penelitian Muhammad Abid al-Jabiri, hampir selama 400 tahun lebih, yakni dari tahun 150 sampai dengan 550 Hijriyyah, seluruh khazanah intelektual Muslim yang tertulis dalam bahasa Arab (kitab kuning), khususnya yang berbasis pada pemikiran kalam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai pendekatan, metodologi maupun disiplin.3  Akibatnya dapat diduga, pendekatan dan pemahaman filosofis terhadap realitas keberagamaan pada umumnya, dan realitas keberagamaan Islam khusunya kurang begitu dikenal dan begitu berkembang dalam alam pikiran Muslim era kontemporer.
Pertanyaan Epistemologis
Dengan mencamkan dan mempertimbangkan temuan Fazlur Rahman dan Muhammad Abid al-Jabiri, beberapa pertanyaan pendahuluan perlu dikemukakan terlebih dahulu sebelum penulis mengeksplorasi lebih lanjut tema tulisan ini. Apakah mungkin mengawinkan atau setidaknya mendialogkan disiplin dan metodologi "filsafat" dan "kalam" dalam pemikiran Islam kontemporer, yang selama berabad-diupayakan namun selalu gagal? Jika memang begitu kenyataannya, apakah disiplin ilmu kalam, sebagai body of knowledge, yang disusun oleh ulama dan kaum cerdik cendekia terdahulu, dapat begitu saja terlepas dari pengaruh dan campur tangan dimensi ruang dan waktu ketika ia dirumuskan baik dahulu, sekarang maupun yang akan datang? Apakah akidah Islamiyah, khususnya yang dirumuskan dan diteorisasikan oleh ulama kalam klasik, tengah dan modern tidak boleh diubah sistematika, metodologi dan konteknya sesuai dengan pergumulan dan perubahan zaman serta perkembangan metodologi keilmuan yang mengitarinya? Bolehkah rumusan dan adagium-adagium ilmu kalam disusun ulang sesuai dengan tuntutan dan tantangan sosial-keagamaan serta perkembangan ilmu pengetahuan yang mengitarinya? Dapatkah dominasi pendekatan tekstual dan kontektual bergulir ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual dalam kehidupan kongkrit sehari-hari? Puncak pertanyaannya, barangkali, adalah sebagai berikut: bolehkah apa yang biasa dan selama ini disebut-sebut sebagai "doktrin", "dogma" atau "akidah" digagas sebagai teori" keilmuan kalam, karena adanya unsur campur tangan dan intervensi manusia Muslim (nabi, sahabat, ulama, fuqaha, mutakallimun, usuliyyun, cerdik cendekia) dalam merumuskan dan mensistematisasikannya?
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang lebih bersifat metodologis-epistemologis tersebut perlu dijawab terlebih dahulu, sebelum penulis melangkah lebih lanjut. Perlu ditegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang lebih bersifat filosofis-epistemologis, dan bukannya pertanyaan-pertanyaan yang bersifat doktrinal-apologis. Jangan berharap diskursus ini dapat dilanjutkan dan berhasil guna, jika saja semua jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut di atas bersifat "negatif". Jika kita mengunci rapat (menutup pintu ijtihad) dan memustahilkan perlunya telaah ulang terhadap rumusan-rumusan argumen ilmu kalam klasik, maka sama halnya kita mensakralkan suatu produk rumusan pemikiran yang sesungguhnya tidak perlu disakralkan. Dengan demikian telah terjadi proses pembakuan dan sekaligus pembekuan keilmuan. Pengembangan metodologi keilmuan tidak mungkin dan terjadilah dengan sendirinya penyempitan horizon cara pandang terhadap realitas keberagaman manusia. Sebuah proses yang mungkin saja terjadi dalam disiplin ilmu-ilmu keagamaan, lebih-lebih ilmu kalam, lantaran lengketnya "kepentingan" politik di dalamnya, namun secara epistemologis amat dipertanyakan validitas dan keabsahannya.
Perkawinan ilmu kalam (teologi) dan falsafah --lebih-lebih dengan mempertimbangkan masukan yang diberikan oleh metodologi keilmuan yang dikembangkan para ilmuwan dan cerdik-cendekia abad 18 hingga sekarang, yakni setelah ditemukan dan dikembangkannya ilmu homaniora, ilmu alam, dan ilmu agama (religious studies) --dirasakan amat mustahil jika para peneliti dan pengkaji ilmu keislaman belum-belum sudah beranggapan bahwa akidah Islamiyah yang mengejawantah dan terbungkus dalam konsepsi keilmuan kalam klasik --yang kemudian pada gilirannya membentuk dan mewarnai corak bangunan materi dan metodologi keilmuan keislaman yang lain-terlepas sama sekali dari campur tangan manusia dalam menyusun dan men-sistematis-kannya.4  Padahal sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan menggarisbawahi adanya campur tangan "kepentingan" manusia dalam setiap bangunan keilmuan.5  Tidak terkecuali ilmu kalam dan ilmu-ilmu keagamaan yang lain.
Dimensi historis-epistemologis dari ilmu-ilmu keislaman klasik amat terabaikan dalam pemahaman pemikiran keislaman kontemporer.6  Bisa dianggap sebagai terlalu bersemangat mempertahankan rumusan-rumusan baku keilmuan agama Islam, jika harus sampai dikatakan bahwa seluruh hal yang terkait dengan akidah, apalagi yang terkonsepsikan dan terumuskan dalam ilmu kalam, yakni yang disusun dan dirancang oleh para ahli ilmu kalam klasik, adalah wadl'iy (disusun dan diturunkan begitu saja adanya dari langit) dengan serta-merta melupakan dan mengabaikan dimensi historisitas bangunan keilmuan kalam itu sendiri. Namun justru pengabaian aspek historisitas keilmuan kalam inilah yang menjadi ciri umum sekaligus kekuatan dan unggulan diskursus pemikiran keislaman yang secara luas dianut dengan kokoh oleh para konsumen dan pengguna jasa ilmu-ilmu keislaman, baik di pesantren, Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), dan pemikiran keagamaan Islam pada Perguruan Tinggi Umum (PTU), majlis-majlis ta'lim maupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
Untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru, dalam tulisan ini akan ditelah tiga aspek yang terkait dengan akidah, khususnya yang telah tersistematisasikan dan terformulasikan melalui ilmu kalam: (1) Struktur fundamental pola pikir atau logika akidah; (2) teks atau nash-nash keagamaan yang terbatas, dan (3) masa depan pendekatan pengkajian ilmu kalam: kerjasama antarmetodologi keilmuan.
Struktur Fundamental Pola Pikir Akidah
Mula pertama perlu dikemukakan asumsi dasar penulis yang terbuka untuk dipertanyakan ulang. Kaum agamawan pada umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief, îmân, credo, kepercayaan, atau akidah (`aqîdah) harus dipercayai begitu saja adanya oleh para pemeluknya. Penulis sepakat dengan anggapan dasar yang demikian karena memang itulah fundamental structure dari apa yang disebut sebagai "agama". Yang menjadi perhatian utama tulisan ini adalah kata "rumusan" tentang `aqîdah, belief, îmân, kepercayaan, atau credo. Jika semuanya ini tidak dapat dilepaskan sama sekali dari "rumusan" bahasa manusia, maka di sinilah letak bahan perbincangan keilmuan yang menarik, karena rumusan, definisi, ta`rîf, dalîl dan istidlâl serta batasan-batasan yang lain mengandaikan adanya pola pikir dan logika yang menyertainya. Umumnya, pola pikir atau logika yang digunakan oleh sistem berpikir akidah, doktrin atau dogma adalah pola pikir deduktif (deductive). Pola pikir yang sangat tergantung pada teks atau nash-nash kitab suci adalah pola pikir yang bersifat deduktif. Abid al-Jabiri menyebut pola pikir seperti itu sebagai pola pikir "bayaniyyun" dan bukan `irfaniyyun, dan juga bukan burhaniyyun.7  Perlu dicatat bahwa pola pikir deduktif hanyalah salah satu dari sekian banyak pola pikir yang ada. Selain itu masih ada pola pikir lain seperti yang menggunakan cara pendekatan induktif (inductive) atau abduktif abductive).
Pola logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif adalah mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato.8  Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui manusia berasal dari "idea", yaitu ide-ide yang tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide "kebaikan" atau "keadilan" misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman historis-empiris-induktif, tetapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa manusia sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal mengingat kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.9
Plato tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan pengalaman inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, maka realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak meyakinkan. Pemikiran keislaman pada umumnya, dan pemikiran kalam khususnya, juga bersifat deduktif. Hanya saja fungsi ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato tersebut diganti -untuk tidak menyatakan diislamkan-oleh ayat-ayat al-Qur'an dan teks-teks al-Hadist. Bahkan seringkali melebar sampai ke Ijma' dan Qias. Perhatikan perlunya "dalil" dan "istidlal" sebagai landasan pola pikir dan pola bertindak dalam hidup keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan mudah menggiring seseorang dan kelompok ke arah model berpikir yang bersifat justifikatif (justificative)  terhadap teks-teks yang sudah tersedia.
Sebagai pola, pemikiran deduktif disanggah dan dikritik oleh pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini, ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang dapat ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman ini kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran. Oleh karena itu harus dibedakan antara istilah "recollection" dan "abstraction".
Ilmu pengetahuan manusia adalah hasil kerjasama antara pengalaman historis-empiris (panca indera dan alat-alat pembantunya) dan kekuatan abstraksi (akal pikiran dalam merumuskan dan membahasakannya). Maka bagi pola pikir induktif, tidak ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam alam historis-empiris dapat dijadikan bahan dasar ilmu pengetahuan10 .
Dalam analisis sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science), pola pemikiran deduktif dan induktif dianggap tidak lagi cukup memadai untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan abad 20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan, yaitu pola pikir abduktif. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan bukannya the logic of justification. Logika abduktif lebih menekankan pada unsur hipotesis, interpretasi, proses pengujian di lapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil, gagasan-gagasan yang dihasilkan dari kombinasi pola pikir deduktif dan induktif.11  Pengujian secara kritis terhadap apa saja yang dapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk di dalamnya rumusan manusia tentang keilmuan agama atau rumusan akidah, dapat dikaji kembali validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang dalam kehidupan aktual.
Dari tiga corak pola logika berpikir tersebut, pemikiran kalam ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola pikir logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan, tanpa rasa takut dan segan, maka pola pikir logika deduktif keagamaan --yang dalam hal ini adalah pemikiran kalam-- nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ditinjau dan ditelaah ulang. Hal demikian semata-mata karena bahan dasar deduksi yang digunakan oleh akidah dan kalam adalah ayat-ayat al-Qur'an dan hadist-hadist Nabi. Dengan demikian, produk pemikiran kalam dan pola pikir akidah pada umumnya telah dikunci rapat, tertutup, ghayru qabilin li al-taghyir.12
Jika memang demikian gambaran pola kerjanya, maka dari sudut kajian linguistik kontemporer dapat dijelaskan bahwa pemikiran kalam dan pola pikir akidah pada umumnya lebih menganut aliran monistik, dan bukan menganut aliran dualistik maupun pluralistik. Seperti diketahui, dalam hubungan antara makna dan lafal atau bentuk teks, terdapat tiga aliran, yakni:
1. Aliran monisme berpendapat bahwa antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahami teks karena antara teks dengan maknanya adalah sesuatu yang manunggal, satu kesatuan.
2. Aliran dualisme mengatakan bahwa antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks dapat dipisahkan. Dengan kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensi, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah begitu kompleks.
3. Aliran pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks amatlah kompleks. Sebuah teks menurut aliran ini merupakan konstruksi metafungsional yang terdiri dari makna ideasional, interpersonal dan tektual yang kompleks. Dengan kata lain, bukan hanya masing-masing makna dan bentuk teks mempunyai eksistensi tersendiri, tapi hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks13 .
Pengalaman mengajar di IAIN baik dalam program strata satu maupun strata dua dan tiga menunjukkan bahwa sangat sulit menjelaskan pada pengguna jasa keilmuan pemikiran Islam dan pemikiran kalam bahwa pola pikir yang digunakan al-Qur'an sesungguhnya adalah induktif dan sekali waktu bahkan abduktif. Istilah "asbab al-nuzul" yang sering disebut-sebut oleh ulama tafsir dan "asbab al-wurud" yang disebut-sebut oleh ulama Hadist, tidak lain dan tidak bukan adalah pola pikir induktif dan bukan deduktif.
Menurut pengamat penulis, ada kekhawatiran yang sungguh mendalam dalam diri umat Islam, jika asbab al-nuzul sampai dimaknai melalui pola pikir yang bersifat induktif, yaitu pola pikir yang didasarkan pada peristiwa-peristiwa sejarah sosial-kemasyarakatan dan sejarah sosial-keagamaan yang terjadi saat "diturunkannya" ayat-ayat tersebut. Cara memahami ayat-ayat al-Qur'an melalui pendekatan induktif-historis dianggap terlalu mendesakralisasikan makna dan peran ketuhanan. Dalam arti bahwa Tuhan tidak perlu dan kurang begitu pantas untuk terlalu turut campur tangan dalam urusan-urusan kecil sejarah kemanusiaan di dunia. Bukankah telah terjadi doktrin ilmu kalam bahwa Tuhan itu harus terbebas dari peristiwa keseharian alam semesta dan umat manusia agar terjaga kesucian-Nya. Bahasa teknis yang biasanya digunakan oleh ilmu kalam adalah "tanzîh".
Dengan lain ungkapan, corak dan pola pemikiran induktif-historis yang tercermin dalam istilah asbab al-nuzul pada akhirnya menipis dan menghilang dari wawasan dan kesadaran individu maupun kolektif umat Islam dan diganti dengan pola pemikiran deduktif yang ternyata lebih bersifat tekstualistik-skriptualistik. Jika memang demikian kenyataannya, maka pendekatan linguistik perlu juga diikutsertakan dalam pengkajian ilmu kalam kontemporer. Pendekatan linguistik atau kebahasaan dapat mempertanyakan sejauhmana fungsi majâz, yakni ungkapan yang bersifat metaforis, dalam diskursus ulum al-Qur'an dapat diangkat ke permukaan untuk membantu memecahkan kesulitan yang dihadapi oleh pendekatan tekstualistik-skriptualistik yang cenderung mengambil pola pemaknaan monistik dalam pemikiran keagamaan Islam.
Dalam perkembangan ilmu linguistik, diskursus tantang majâz dalam studi ilmu-ilmu al-Qur'an perlu dicermati kembali. Para peneliti pemikiran keislaman kontemporer seperti Muhammad Arkoun mengatakan bahwa pemikiran keislaman sampai sekarang belum memiliki teori yang komprehensif mengenai majâz.
"The role of metaphor and metonimy in religious language has not yet been fully considered up to now &ldots; Orthodox exegesis has been limited by the traditional definition of metaphor as a simple rhetorical divice used to embelish style"14
Tampaknya keprihatinan Arkoun muncul karena pemahaman terhadap ungkapan majâzî dalam kajian studi Islam (balaghah) masih sangat sederhana, yakni lebih ditekankan pada masalah estetiknya saja, yakni sebagai pemoles bahasa supaya kedengaran indah. Tidaklah aneh jika banyak dijumpai ungkapan seperti "apabila tidak ada majâz dalam al-Qur'an, maka akan hilanglah sebagian keindahan dan kemu'jizatannya" dan para ahli balaghah sepakat bahwa ungkapan majâz itu lebih baligh (lebih indah) dari pada ungkapan haqîqî. Kajian majâz yang berkembang dalam bidang balaghah umumnya masih terbatas pada persoalan makna yang berskala mikro menyangkut arti kata perkata atau arti penyandaran, apakah dalam arti yang sebenarnya atau bukan sebenarnya. Jika bukan dalam arti sebenarnya (arti majâz), maka bagaimana hubungan arti baru ini dengan arti asalnya. Apakah ia merupakan perserupaan (musyâbahah), yang lantas disebut isti'ârah; ataukah bukan merupakan perserupaan (ghayr musyâbahah), yang kemudian disebut majâz mursal? Adapun persoalan makna berskala mikro yang memandang majâz sebagai sarana untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat konseptual dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh berbagai kalangan, belum banyak --untuk tidak menyatakan belum ada-dibahas dalam kajian balaghah. Sudah barang tentu, temuan-temuan keilmuan linguistik yang baru seperti ini besar pengaruhnya dalam pengkajian ilmu kalam kontemporer, agar ia dapat dikembangkan seiring dengan derap perkembangan ilmu-ilmu yang lain.
Salah satu konsekuensi dari pola dan tata pikir deduktif-tekstualistik-skriptualistik adalah kurang tajamnya seseorang atau kelompok dalam melihat dan mencermati fenomena alam, budaya dan sosial kemasyarakatan yang selalu berubah dan berkembang sedemikian dahsyatnya.15  Akibat selanjutnya, kesadaran akan adanya dimensi historisitas sebuah konsep, ide dan gagasan (history of ideas) --apalagi jika gagasan, ide, dogma atau akidah-sulit dipahami oleh pemikiran umumnya dan pemikiran Islam pada khususnya.
Orang lupa bahwa konsep "dosa besar" dalam pemikiran kalam sesungguhnya bermula dari peristiwa historis-politik, yaitu konflik antara Amr ibn 'Ash, Ali bin Ali Talib dan Mu'awiyah. Lebih-lebih masalah "al-jabr" dan "al-ikhtiyâr". Masalah ini adalah masalah politik murni. Penguasa, dalam hal ini Mu'awiyah, sangat berkepentingan dengan konsep ini untuk meredam suara rakyat yang mempertanyakan kebijakan-kebijakan politiknya.16  Orang juga lupa bahwa al-Qur'an dalam bentuknya yang mushhâfî seperti yang ada sekarang ini adalah jasa khalifah Usman ibn Affan yang berhasil menyatukan cara membaca al-Qur'an yang saat itu ada beberapa macam bacaan dan naskah yang tersebar di berbagai wilayah. Perbedaan antara Sunnî dan Syi'î, yang semarak hingga sekarang, sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah perbedaan penafsiran terhadap berbagai kekuasaan politik, antara ahl al-bayt dan bukan ahl al-bayt. Kita juga sering lupa jika pemikiran hukum fikih hanyalah hasil ijtihad para ulama fikih klasik, baik Hanafi, Syafi'i, Maliki mupun Hambali dan yang lain-lain. Begitu pula dalam hadist (konsep hadits mutawâtir, ahad, shahîh, dha'îf, hasan, mursal, dan seterusnya), tafsif (model tahlîlî, maudhû'î, muqâran, ijmâlî, bi al-ma'tsûr, bi al-ra'y, dan seterusnya), tasawuf (salâfî, 'amalî) dan begitu juga seterusnya. Semua ilmu-ilmu keislaman tersebut mengaku merujuk kepada teks al-Qur'an sebagai dasar pola pijakannya.
Menipisnya--untuk tidak mengatakan menghilangnya-kesadaran historisitas pemikiran keislaman menyulitkan para pemikir Muslim kapanpun dan dimanapun mereka berada untuk berijtihad secara mandiri. Syarat-syarat ijtihad terlalu rumit untuk diikuti, sehingga orang lebih suka diam dan tidak bersuara daripada menyampaikan pendapat yang dipandang keluar dari patokan-patokan berpikir "baku" yang telah dirumuskan dan ditentukan oleh generasi keilmuan keislaman terdahulu yang usianya sudah hampir seribu tahun.17
Menghilangnya nuansa historisitas (salah satu problem historisitas adalah perbedaan letak geografis, iklim, musim, juga budaya dan tradisi antara satu wilayah dan lainnya) menyebabkan orang-orang Muslim imigran di Eropa harus berpuasa dengan tempo lebih lama dari waktu umumnya yang dijadikan patokan orang berpuasa di wilayah Timur Tengah dan daerah ekuator atau katulistiwa pada umumnya. Mereka tidak berani berijtihad sendiri untuk memecahkan persoalan ini. Akibatnya, dalam menjalani ibadah puasa anak-anak lebih mengalami kesulitan dibandingkan orang tua. Warga Muslim minoritas keturunan Turki, Maroko, Pakistan dan negara berpenduduk mayoritas Muslim yang lain di Timur Tengah yang tinggal di Eropa --meskipun mereka telah bekerja, berkeluarga dan sudah turun-temurun sampai pada generasi ketiga-masih saja merasa hidup dalam wilayah dâr al-harb. Oleh karena bersikap demikian, anak keturunan mereka yang sudah berbudaya dan berpendidikan Eropa juga mengalami kesulitan jika hendak berkeluarga. Mereka harus kawin atau memilih gadis pasangannya dari daerah pedalaman Turki, Maroko, Pakistan yang oleh orang tuanya diyakini masih dalam wilayah dâr al-Islâm yang murni. Perkawinan model ini umumnya tidak berusia panjang karena perbedaan budaya dan tradisi serta tingkat dan model pendidikan yang diperoleh kedua mempelai.18  Sempitnya wilayah ijtihad--lantaran generasi Muslim sekarang masih harus terpaku pada cara, metodologi, bahkan hasil berpikir dan berijtihad pada era klasik-skolastik-menumbuhkan sebuah generasi Muslim imigran yang mengalami split personality (keterpecahan kepribadian).
Tidak harus sampai ke Eropa, di wilayah Tanah Air pun sering terjadi perasaan kikuk karena harus bertetangga dengan orang yang kebetulan menganut agama lain. Sebagaimana umat Islam merasa tidak berbuat kebajikan dan beramal soleh, ketika mereka menolong tetangga yang kebetulan tidak seagama.19  Jika demikian fakta empiris yang biasa dijumpai dalam kehidupan aktual bertetangga sehari-hari, dapat dibayangkan betapa kerasnya reaksi sebagian umat Islam jika ada kelompok umat Islam tertentu yang mengajak "kerjasama" dan bergabung dengan kelompok penganut agama lain dalam satu kekuatan pollitik. Demikian gambaran singkat betapa sekat-sekat teologis, sekat-sekat akidah, sekat-sekat kalam yang dikonsepsikan dan dirumuskan era klasik-skolastik terus menerus dipelihara oleh umat beragama dewasa ini. Umat beragama pada umumnya kurang senang dan tidak begitu nyaman melihat fenomena sosial keagamaan yang bersifat plural, padahal fenomena plural tersebut terus menerus berkembang dalam dunia praksis sosial keagamaan.
Contoh yang tak seberapa di atas, lagi-lagi hanya menandaskan bahwa pola berpikir deduktif-tekstual-skripturalis yang biasa mewarnai pola pikir kalam mengalami kesulitan yang luar biasa ketika harus menatap realitas kehidupan aktual dan keharusan untuk melakukan ijtihad baru untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul karena perkembangan dan perubahan zaman. Dalam 200 tahun terakhir, perkembangan dan keberhasilan ilmu dan teknologi telah mengubah seluruh tatanan kehidupan era klasik, era skolastik, juga tidak terkecuali era salaf, era sahabat, dan era tabi'in. Perubahan itu terjadi dalam cara berpikir, mentalitas dan perilaku budaya yang menyertai penemuan ilmu dan teknologi tersebut. Keberhasilan dalam pemenuan teknologi baru dalam bidang kedokteran, bioteknologi, teknologi ruang angkasa--yang memicu timbulnya revolusi informasi dalam gelombang ketiga, (setelah revolusi hijau and revolusi industri), seperti teknologi bayi tabung, kloning, rekayasa genetika, satelit komunikasi dan begitu seterusnya--sulit diterangkan melalui model pola hubungan antara Tuhan, alam dan manusia era klasik-skolastik-prascientific.
Model konsepsi ketuhanan dan doktrin-doktrin keagamaan era klasik-skolastik membutuhkan uluran keberanian dari para pemikir keagamaan untuk merumuskan ulang konsepsi-konsepsi yang telah ada. Realitas keberhasilan bioteknologi dan rekayasa genetika menggambarkan betapa kerjasama antara manusia, alam dan Tuhan semakin nyata. Konsepsi ketuhanan dalam agama-agama yang memposisikan Tuhan terlalu jauh dari jangkauan umat manusia (tanzîh), sehingga hanya cocok untuk dikaji sebagai obyek peribadatan semata, akan sulit menerangkan bagaimana percobaan-percobaan rekayasa genetika dan bioteknologi yang dilakukan oleh umat manusia dapat berhasil sedemikian rupa, jika apa yang diupayakan oleh manusia tidak didukung oleh campur tangan Tuhan di dalamnya. Keberhasilan rekayasa bioleknologi hanya dapat diapahami, jika Tuhan ikut bekerjasama membantu manusia menciptakan makhluk baru dari hasil jerih payah kecerdasan manusia dalam meneliti dan memahami perilaku dan keajegan-keajegan alam.
Dari uraian sekilas di atas dapat dipahami, ternyata teks-teks, ayat-ayat, dalil-dalil kitab suci (al-Qur'an, Bibel, Taurat, Weda, dan begitu seterusnya) memang "terbatas". Oleh karena itu, batas pemahamannya pun jangan sampai terlalu menekankan pada yang tertulis atau tersurat. Perlu pemahaman sisi makna terdalam, maghza, semangat, spirit, dari ayat-ayat atau nash-nash kitab suci tersebut. Perlu sedikit pergeseran dari titik tekan yang dulunya hanya aspek "dalalah" kepada "maghza".20  Agar teks-teks, nash-nash dan dalil-dalil tersebut mempunyai umur panjang, baik dari segi waktu maupun tempat (salihun li kulli zaman wa makan), maka ia harus dipahami secara komprehensif melalui pemahaman yang mendalam dan interdisipliner. Makna kebahasaan secara konvensional saja tidak lagi cukup dapat menjangkau sisi terdalam dari makna ayat-ayat tersebut. Perkembangan situasi sosial, budaya, politik, ilmu pengetahuan, revolusi informasi, turut memberi andil bagaimana memaknai kembali teks-teks keagaman.
Menghindari Eksklusivisme Disiplin Kelimuan
Ketika manusia Muslim menatap masa depan peradabannya dengan cara mempertautkan teks-teks, nash-nash al-Qur'an dan al-Hadist21  yang selama ini hanya biasa dipahami secara deduktif-normatif dengan realitas kehidupan yang aktual yang terus-menerus berubah dan berkembang dan hanya dapat dipahami secara induktif-historis, dengan dibarengi sikap kritis-abduktif, maka sesungguhnya mereka telah mengaktualkan metodologi keilmuan filsafat dalam persoalan-persoalan kalam dan akidah Islamiyah. Langkah-langkah demikian itulah yang sedang dilakukan oleh generasi pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Farid Esack, Abdullahi Ahmed an-Na'im, Muhammad Syahrur, Muhammad Abid al-Jabiri dan lain-lain.22
Untuk menutup tulisan ini penulis akan menyorot serba sekilas bagaimana metodologi filsafat dapat membantu memperbaiki citra dan wibawa keilmuan kalam dan kajian-kajian keislaman lainnya dalam menghadapi persoalan-persoalan masa depan kemanusiaan yang mencakup dua masalah: pertama, yang berkaitan dengan upaya mentransformasikan norma-norma agama dalam bingkai keilmuan sebagai kekuatan budaya (cultural force) dan bukannya sekadar sebagai kekuatan moral atau spiritual (moral, spiritual force) seperti yang biasa terdengar dalam bahasa dakwah, dan kedua adalah soal pluralitas agama-agama dalam hubungannya dengan Dialog Antar Umat Beragama.
Pertama, norma agama sebagai kekuatan budaya. Tidak ada orang meragukan betapa kuat dan kokohnya kepercayaan umat Islam terhadap keberadaan dan keagungan Allah SWT. Namun kekuatan keimanan ini belum dihadapkan pada prsoalan-persoalan aktual, persoalan-persoalan kongkrit, yang dihadapi umat manusia dalam kehidupan sehari-hari sehingga tampak kurang dimanfaatkan sebagai cultural force. Istilah "iman dan taqwa" (Imtaq) yang biasa disitir oleh siapa pun di Tanah Air, khususnya para pejabat dan para juru dakwah dan penceramah keagamaan, menunjukkan hal itu. Praktik Imtaq dalam praksis sosial sangatlah lemah. Ia lebih merupakan slogan dalam berpidato di atas podium namun tidak terlaksana dalam praktik. Hal itu terbukti dengan telah membudayanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam hampir seluruh lini kehidupan di Tanah Air. Ketika umat Islam Indonesia dihadapkan pada isu aktual dan kongkrit seperti KKN ternyata kebanyakan mereka justru kurang peka terhadap isu tersebut. Jangankan memberi solusi yang aplikabel dalam kehidupan masyarakat luas, mereka sendiri justru baru sadar bahwa ternyata di luar pagar sistem peribadatan murni (mahdlah) terdapat kekuatan yang lebih dasyat yang dapat memporak-porandakan sendi-sendi moral-keagamaan perorangan, keluarga, masyarakat maupun bangsa. Sekarang mereka baru sadar bahwa penyakit KKN tidak dapat diobati melalui himbauan dan ajakan retorika keagamaan di atas podium. Ternyata KKN mempunyai logika dan mekanisme kerja tersendiri, yang terlepas dan luput dari pengamatan dan telaah sistem peribadatan pribadi umat Islam (al-ahwal al-syakhsiyyah) yang biasa mereka kaji dan tekuni dalam forum-forum kajian keislaman di Perguruan Tinggi, pesantren dan majlis-majlis taklim dan forum pengajian-pengajian lain.
Dalam telaah teoritik ilmu-ilmu sosial, KKN termasuk dalam wilayah public morality (kesalehan publik), bukan semata-mata dalam wilayah individual morality (kesalehan pribadi). Wilayah individual-morality barangkali memang cukup dibekali dan diselesaikan melalui pendekatan al-ahwal al-syakhsiyah, sedangkan persoalan public morality mempersyaratkan dikuasainya seperangkat keilmuan critical social sciences yang diharapkan dapat menciptakan sistem kontrol sosial yang handal. Kepedulian terhadap isu-isu aktual, isu-isu publik, kepentingan-kepentingan umum agaknya kurang begitu diperhatikan oleh dogma-dogma agama dan ilmu kalam pada umumnya di IAIN, STAIN dan PTAIS.
Tidak bisa tidak, jika ilmu kalam dan akidah Islam hendak diperankan dalam memecahkan problem kehidupan sosial kekinian, problem kehidupan sosial yang aktual dan kongkrit, ia harus bersedia menjalin kerjasama dengan pendekatan critical social sciences dan humaniora pada umumnya. Jika tidak, maka ilmu kalam, akidah atau dogma hanya akan bermakna secara esoteris-metafisis tetapi kurang begitu peduli, apalagi sampai terlihat dalam pergumulan isu-isu sosial-eksoterik yang sedang digelisahkan oleh umat manusia sekarang ini.
Kedua, tentang Pluralitas Agama dan Dialog Antar Umat Beragama. Dua konsep ini merupakan persoalan baru yang dihadapi oleh umat Islam khususnya dan umat beragama pada umumnya. Dalam al-Qur'an memang ada prinsip "lakum dinukum wa lii al-dien" (bagimu adalah agamamu dan bagiku adalah agamaku), namun konsep tersebut, menurut hemat penulis, lebih terkait dengan konsep Kebebasan Beragama dan bukan Dialog Antar Umat Beragama. Konsep Dialog Antar Umat Beragama muncul ke permukaan sebagai pengganti atau counter terhadap hak kebebasan beragama yang telah dideklarasikan oleh PBB. Tidak semua teolog, kyai, pastur, pendeta, bhikhu, cerdik-cendekia di Perguruan Tinggi maupun orang awam menyetujui konsep baru ini. Sama seperti ketika mereka merespon Hak Kebebasan Beragama 50 tahun yang lalu (1948). Lebih-lebih karena cara berpikir, sikap mental dan agenda yang muncul dari kedua konsep tersebut memang sangatlah berbeda. Jika konsep Kebebasan Beragama, dalam praktik di lapangan, sedikit lebih banyak mencerminkan sifat kecemburuan dan agresivitas dalam memandang dan berhubungan dengan penganut agama lain, maka konsep Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan sikap, cara berpikir dan bertindak yang lebih santun, toleran, menahan diri, dan arif terhadap realitas kemajemukan umat beragama. Kebebasan Beragama lebih mencerminkan worldview atau pandangan hidup pelaku dan mentalitas having a religion, sedangkan Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan sikap, perilaku dan mentalitas being religious.
Dialog Antar Umat Beragama beranggapan dan bahkan berkeyakinan bahwa "keselamatan" --apapun bentuk, model dan coraknya-sudah ada dalam setiap agama-agama besar dan kecil. Ibaratnya, sebagai orang luar yang tidak seagama hanya ingin memahami bagaimana sesungguhnya model keselamatan yang dipahami, ditawarkan, diyakini dan dipraktikkan oleh pengikut agama-agama lain. Tidak ada sedikitpun keinginan atau niatan untuk secara agresif menyerang, mengolok-olok, mencemooh, memandang rendah apalagi sampai merebut atau memindah pemeluk agama yang satu ke yang lain. Kalaupun terdapat apa yang disebut-sebut sebagai conversi (pindah agama), hal itu semata-mata karena didorong oleh kesadaran paling dalam dari seseorang dan bukan karena tekanan, ajakan atau bujukan dari pihak luar. Religious truth claim (monopoli kebenaran Agama) tidak terlalu diperlukan di sini. Yang lebih diperlukan adalah proses reduksi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok agama bagi para pengikutnya masing-masing untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan dan integritas sesorang.
Dialog Antar Umat Beragama lebih menitikberatkan pada keinginan dan kebutuhan untuk saling memahami dan saling tukar menukar pengalaman keagamaan yang telah dimiliki oleh masing-masing tradisi pengikut agama-agama.23  Tidak terbersit sedaikitpun usaha-usaha untuk secara sepihak "menyalahkan", "meng-kafirkan", "mengolok-olok", "menganggap tidak selamat" sistem kepercayaan dan keimanan yang dimiliki oleh orang dan kelompok lain. Jika dalam konsep "Kebebasan Beragama" masih dimungkinkan munculnya keinginan untuk "menyalahkan", "tidak menyukai" dan "menganggap tidak selamat" penganut agama lain sehingga harus diselamatkan ulang atau diagamakan kembali, maka dalam konsep Dialog Antar Umat Beragama justru sebaliknya. Janji dan harapan adanya keselamatan diangggap sudah ada dalam masing-masing agama. Hanya saja cara, model, sistem ajaran, syari'ah dan konsepsinya berbeda dari yang biasa dimiliki oleh masing-masing pemeluk. Maka hujat-menghujat, salah-menyalahkan, kafir-mengkafirkan tidak diperlukan lagi dalam era Dialog Antar Umat Beragama. Kita menerima keberadaan orang lain sepertia apa adanya, tanpa keinginan untuk merubah keyakinan agamanya supaya sama dengan keyakinan yang kita miliki. Yang diperlukan hanyalah proses saling mengenal dan saling memahami eksistensi dan hak masing-masing agama.
Jika fundamental structure dan implikasi yang ditimbulkan dari masing-masing konsep demikian adanya, maka Kebebasan Beragama yang mengandaikan perlunya dikembangkan teologi "kerukunan" antar umat beragama, harus dikembangkan selangkah lebih lanjut menjadi Dialog Antar Umat Beragama yang mempersyaratkan perlunya kerjasama antarumat beragama. Dengan ungkapan lain, kerukunan antarumat beragama sudah built-in dalam konsep "kerjasama", sebaliknya dalam konsep "kerukunan" belum tentu demikian adanya.
Dalam menghadapi nestapa manusia era modern dan modern tingkat lanjut seperti saat sekarang ini, agama diharapkan dapat menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan, menentramkan, bukan malah menjadi sumber keruwetan dan menambah tambahan beban ekstra berat yang perlu dipecahkan oleh umat-umat beragama. Tampaknya, harapan demikian akan tinggal menjadi harapan, jika umat manusia dan umat beragama tidak bersedia memahami ulang secara lebih subtansial dan berani mengubah konsepsi mereka tentang "apakah hakekat atau esensi agama tersebut"? Menurut hemat penulis, yang menjadi akar persoalan bukanlah "agama", "dîn" atau "religion" itu sendiri--yang notabene acapkali dianggap absolut atau mutlak oleh para pengikutnya--tetapi lebih pada cara berpikir, mentalitas dan perilaku budaya masing-masing pengikut agama-agama. Pola pemikiran keagamaan, mentalitas dan perilaku budaya yang bersifat "absolut", "tertutup", "eksklusif"dan "rigid" perlu digeser ke arah corak pemikiran keagamaan yang lebih bersifat "terbuka", luwes", "inklusif" dan "arif". Namun, fakta historis-sosiologisnya justru menunjukkan adanya pemisahan yang bersifat diametral antara dua macam sikap dan cara berpikir keagamaan, yang secara terus-menerus ingin dipelihara dan dilestarikan para penganut agama-agama era sekarang, serta mewarisi pola pikir dan mentalitas keagamaan era skolastik.
Sekali waktu, umat beragama perlu juga memahami bahwa fenomena agama, selain melibatkan "wahyu," ia juga lengket dengan fenomena kultural, tradisi, bahasa, adat-istiadat, habit of mind dan seterusnya. Untuk itu pada level aktual-historis-empiris, adalah realistik dan bertanggung jawab rasanya untuk lebih memperbincangkan, memahami dan menyadari adanya warna-warna keagamaan yang hitam, putih, kuning, biru, hijau, merah dan begitu seterusnya daripada terjebak pada logical fallacy "buta warna-warna" keagamaan. Konsep klasik tentang Kebebasan Beragama, yang dibarengi cara berpikir yang absolut, rigid dan tertutup, lebih mengutamakan agenda dan prioritas yang berusaha agar seluruh warna-warna keagamaan tersebut di atas dihapus dan diganti oleh satu warna yang paling unggul (superoritas keagamaan atau religious truth claim). Sementara itu, konsep Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan mentalitas, cara berpikir, bertindak dari perilaku keagamaan yang lebih santun dan rendah hati. Ia dengan tulus, sepenuh dan rendah hati mengakui eksistensi warna-warna keagamaan tersebut, tetapi sekaligus memustahilkan keberhasilan usaha yang dilakukan oleh siapapun untuk menyatuwarnakan seluruh warna-warna keagamaan yang ada. Untuk itu, dihadapkan pada pilihan tersebut, kerjasama antarberbagai umat beragama dalam praksis kehidupan, dengan tetap mengakui otonomi dan eksistensi metafisis warna keagamaan masing-masing, lebih menjanjikan dan memberi harapan baru.
Dari situ konsep Kebebasan Beragama --yang lebih berpadanan dengan konsep al-Qur'an dalam surat al-Kafirun-yang dideklarasikan 50 tahun yang lalu oleh anggota PBB terasa kehilangan relevansinya dan perlu dipertanyakan ulang nilai manfaatnya oleh banyak kalangan. Setelah mencermati watak dasar dan implikasi dari kedua konsep tersebut, maka upaya untuk menggantikan dengan konsep Dialog Antar Umat Beragama --yang lebih perpadanan dengan konsep al-Qur'an dalam surat al-Hujarat-rasanya memang lebih plausible dan viable untuk masa-masa yang akan datang.
 Dengan demikian pengajaran dan kajian kalam kontemporer tidak lagi cukup hanya mempelajari pola-pola keimanan yang dianut dan dimiliki oleh kalangan sendiri. Dalam era globalisasi agama dan budaya seperti saat ini, perlu juga dikenalkan bagaiaman pola-pola keimanan yang dimiliki oleh orang lain, di luar yang biasa diyakini. Kajian perbandingan dalam pengajaran kalam dalam Dunia Islam (Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah di satu pihak, atau Sunnî versus Syi'î di lain pihak), sudah saatnya dan semestinya dikaitkan juga dengan pola-pola dan aliran-aliran teologi yang dimiliki oleh kelompok-kelompok di luar Islam (Katolik, Protestan, Yahudi, Budha, Hindu, Kong Hu Cu). Dengan demikian, dalam pengkajian kalam kontemporer lebih diperlukan untuk mengedepankan pentingnya metodologi, fundamental theories, basic, current, living atau actual issues serta comparative perspective (perspektif perbandingan) dalam persoalan-persoalan keagamaan dalam hidup sehari-hari daripada hanya sekadar menyentuh aspek sejarah dan perkembangan ilmu kalam dalam dirinya sendiri, apalagi kalau hanya terbatas pada pembahasan dan pengulangan konsep-konsep yang abstrak yang tidak menyentuh persoalan hidup keseharian manusia baik sebagai individu maupun kelompok.
Penutup
Jika yang dimaksud "filsafat" seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman dalam awal tulisan ini adalah "isme-isme" atau aliran-arilan filsafat yang biasanya dikenal sekarang ini, maka aktualisasi filsafat dalam pengajaran dan pengkajian kalam sangatlan tidak mungkin. Ideologi-idelogi besar dunia justru menjadi lawan dari ideologi Islam. Hubungan antarkeduanya adalah ibarat minyak dan air. Dalam tulisan ini, apa yang disebut-sebut sebagai "filsafat" adalah "metodologi berpikir". Berpikir kritis-analisis dan sistematis. Ia lebih memcerminkan "proses" berpikir, dan bukan sekadar "produk" berpikir.
Dalam "proses" berpikir itulah metodologi filsafat dapat diaktualisasikan dalam pemikiran kalam. Tanpa dibarengi sentuhan filsafat, agama dan kekuatan spiritual yang lain dalam era globalisasi budaya akan semakin sulit memerankan jati dirinya. Kerjasama antarberbagai metodologi keilmuan --dan bukannya eksklusivisme disiplin keilmuan-adalah merupakan conditio sine qua non bagi pengembangan keilmuan kalam dalam menatap realitas sosial keagamaan di masa depan.

Catatan Akhir
 1 Hingga 1999, terdapat 14 IAIN di seluruh tanah air dan 38 STAIN dengan jumlah mahasiswa tidak kurang dari 100 ribu mahasiswa, belum lagi ditambah dengan PTAIS.
 2 Fazlur Rahman. Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradision (Chicago and Lodon: The University of Chicago Press, 1982), halaman 157-8. Cetak miring dan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh penulis.
 3 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al- Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990), halaman 497-8.
 4 Lebih lanjut dapat diikuti dalam buku penulis Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), khususnya halaman 172-173.
 5 Untuk informasi lebih mendalam, lihat Gregory Baum, Truth Beyond Relativism: Karl Manheim's Sosiology of Knowledge, edisi bahasa Indonesia Agama dalam Bayang-bayang Relativism: Sebuah Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Manheim tentang Sintesa Kebenaran Historis-Normatif, terjemahan Achmad Nurtajib Chaeri (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
 6 Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terjemahan Hasim Saleh (Beirut: Markaz al-innma' al-qaumy, 1990), halaman 172-173.
 7 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby.
 8 Studi yang cukup mendalam tentang struktur fundamental pemikiran kalam dilakukan oleh Josep Van Ess dalam tulisannya "The Logical Structure of Islamic Theology" dalam Issa J. Boullata, an-Anthology of Islamic Studies (Montreal: McGill Indonesia IAIN Depelpment Project, 1992). Juga sebagai studi banding Harry Austryn Wolfon, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard Univesity Press, 1976), halaman 382-385.
 9 Edith Hamilton and Hutington Cairns (Ed), Plato: The Collected Dialoques (Princeton: Princeton Univesity Press, 1961).
 10 Bandingkan dengan M. Amin Abdullah "Dimensi Epistemologi Filsafat Islam" dalam Studi Agama Normativitas atau Historisitas?  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), halaman 243-264.
 11 Justus Bucher, Charles Peirce's Empiricism (New York: Octagon Books, 1980), halaman  38-40: 131-132.
 12 Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq Wa al-Syiyasah, terjemahan Hasan Saleh (Beirut: Markaz al-inma' al-qaumy, 1990), halaman 172-173.
 13 Burhan Nurgiantoro, teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), halaman 282, sedang kompleksitas yang terkait dengan persoalan bahasa, lebih lanjut I Bambang Sugiharto, Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), halaman 140. Dalam kaitannya dengan Islamic Studies, lihat Muhammad Arkoun. al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihad, terjemahan dan komentar Hashim Salih (London: Dar al-Saqi, 1990), halaman 201-206.
 14 Muhammad Arkoun. "The Notion of Revelation" dalam Lectures du Coran (Tunis: Alif Edition de la Mediterrance, 1991), halaman 264.
 15 Hasan Hanafi dengan tandas mengajukan pertanyaan yang bernada keluhan: Limadza ghaba mabhatsu al-insan wa al-tarikh fi turatsina al-qadim? Dalam khasanah intelektual Islam klasik? Lebih lanjut dalam bukunya Dirasat Islamiyah (Qahirah: Mahtabah al-Anjilo Al-Misriyyah. Tt), halaman 393-415 dan 416-456.
 16 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby, halaman 571-2
 17 Kasus kontemporer di Mesir dialami oleh Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zaid. Lebih lanjut Stefan Wildd, The Qur'an as Texk (Leiden: E.J. Brill, 1996), halaman ix-x. Juga Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-tafkir: Zidda al-jahl wa al-zaid wa al-khurafat (Al-qahirah: Sina li al-nasyr, 1995).
 18 Wawancara penulis dengan Dr. Karel Steenbrink bersama A. Syafi'i Anwar, mantan pemimpin redaksi Ummat di Utrecth, Belanda, Nopember 1997. Persoalan-persoalan aktual yang dihadapi oleh minoritas Muslim di Eropa dapat dibaca dalam W.A.R. Shadid and P.S.V. Koningsveld (Eds), Muslim in the Margin: Political Responses to Pesnce of Islam in Western Europe (Kampen the Netherlands: Kok Phoros publishing hhouse, 1996).
 19 Ungkapan dan pernyataan tersebut diunngkapkan oleh pemirsa TV Station Yogyakarta kepada penulis ketika mengisi acara Dialog Ramadhan di TV Station Yogyakarta pada 1995.
 20 Diskusi menarik tentang tema ini dapat ditelusuri lebih lanjut dalam Nasr Hamid Abu Zaid, naqd al-khitab al-diniy (Qahira: sina li al-nasyr, 1994), halaman 139-193.
 21 Upaya memahami teks-teks al-hadist secara kontekstual mulai dilakukan atau lebih tepat dihangatkan oleh ulama kontemporer seperti Muhammad al-Ghazali. Lihat lebih jauhnya bukunya al-Sunnah al-Nabawiyyah: Baina ahl fiqh&ldots; wa ahl al-hadist (Beirut: Dar al-Syuruq, 1989).
 22 Cepat atau lambat, seluruh buku dan karya para pemikir Muslim kontemporer tersebut akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dibaca khalayak luas baik oleh masyarakat akademik maupun non-akademik, dosen IAIN, kalangan pesantren dan juga warga Perguruan Tinggi umum akan menyimak dan mengikuti pemikiran-pemikiran tersebut. Sejauhmana kurikulum dan silabi mata kuliah studi keislaman dipersiapkan metodologinya untuk itu? Itulah salah satu agenda mendesak pemikiran Islam di Tanah Air, khususnya di kalangan IAIN, STAIN dan PTAIS.
 23 Bandingkan dengan al-Qur'an, surat al-Hujarat, ayat 11-13. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak berbuat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim: Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagaian prasangka itu adalah dosa dan janganlah sebagaian kamu menggunjing sebagaian yang lain. Sukakah salah satu di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang paling bertakwa diantara kamu. Sesunguhnya Allah Maha Megetahui lagi Maha Mengenal." Dikutip dari al-Qur'an dan terjemahannya (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia), Cetak miring dari penulis.

Kepustakaan
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
________, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 1996).
Arkoun, Muhammad, Al-Fikr al-Islamy: Naqd wa Ijtihad, terjemahan dan komentar Hasim Salih (London: Dar al-Saqi, 1990).
________, al-Islam: al-akhlaq wa al-Siyasah, terjemahan hasim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma al- qaumy, 1990).
________, "The Notion of Revelation" dalam Lectures du Coran (Tunis: Alif Edition dela Mediterrane, 1991).
Baum, Gregory, Truth beyond relativism: Karl Manheim's Sosiology of konowlwdgeI, edition bahasa Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terjemahan Achmad Murtajib Chaeri (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).
Bucher, Justus, Charles Peirce's Empiricis (New York: Octagon Books, 1980).
Cairns, Huntington and Hamilton, Edith (Ed.), Plato: The Collected Dialoques (Princeton: Princenton University Press, 1961).
Departemen Agama Republik Indonesia,Al-Qur'an dan Terjemahnya.
Ess, Josep van, "The Logical Structure of Islamic Theology" dalam issa.J. Boullata, An-Anthology of islamic Studies (Montreal: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992).
al-Ghazali, Muhammad, al-Sunnah al-Nabawiyyah: Bayna ahl al-fiqh &ldots; wa ahl al-hadists (Beirut: Dar al-Syuruq, 1989).
Hanafi, Hasan, Dirasah Islamiyyah (Qahirah: Mahtabah al-Anjilo al-Misriyyah, tt).
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al-Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990).
Koningveld P.S.V. and W.A.R. Shadid, (Ed), Muslim in the Margin: Political Responses to Presence of Islam in Western Europe (Kampen the Netherland: Kok Phoros Publishing House, 1996).
Nurgiantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press 1995).
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation an Intelectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Perss, 1982).
Sugiharto, I. Bambang, Posmodernisme, Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
Zaid, Nasr Hamid Abu, Naqd al-khitab al-diniy (Qahira: Sina li al al-Nasr, 1994).
________, al-Tafkir fi Jamani al-Takfir: Zidda al-Jahl wa al-Zaif wa al-Khurafat (al-Qahirah: Sina li al-Nasyr, 1995).
Wild, Stefan, The Qur'an as Text  (Leiden: E.J. Brill, 1996).
Wolfson, Harry Austryn, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Perss, 1976).

 07 September 2008, 05:17:46 PM »
Beberapa saat yang lalu ada sebuah artikel di buddhistchannel.tv berjudul "Planning the Demise of Buddhism" di mana sekarang sekarang para umat Kristiani sedang mengarahkan segala tenaganya untuk memojokkan agama Buddha dengan menerbitkan buku-buku beserta web-web yang bertujuan secara khusus membawa para umat Buddhis menuju Kristianitas. Namun yang terjadi adalah para penulis dan pembuat web-web tersebut mempunyai pengetahuan yang sangat rendah akan agama Buddha   

Ada 3 buku Kristiani yang sangat populer, yang bertujuan untuk menyanggah agama Buddha:

1. The Lotus and The Cross (Teratai dan Salib), Percakapan Yesus dengan Buddha oleh Dr. Ravi Zacharias
2. Unexpected Way: On Converting from Buddhism to Catholicism oleh Paul Williams
3. Peoples of the Buddhist World: A Christian Prayer Guide oleh Paul Hattaway

Berikut cover ketiga buku tersebut:   

  

Profil penulis:   
1.  Dr. Ravi Zacharias mendapatkan gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Trinity International University di Deerfield, Illinois. Ia menguasai banyak disiplin ilmu, di antaranya perbandingan agama, aliran agama, dan filsafat, dan oleh karena itu ia memimpin departemen Penginjilan dan Pemikiran Kontemporer di Alliance Theological Seminary selama 3,5 tahun. Ia mendapatkan anugerah gelar Doctor of Divinity (D.D.) baik dari Houghton College, NY, maupun dari Tyndale College and Seminary, Toronto. Ia juga dianugerahi gelar Doctor of Laws (LL.D.) dari Asbury College di Kentucky. Ia sekarang menjadi dosen tamu di Wycliffe Hall, Oxford University di Oxford, England.
2. Paul Williams sebelumnya adalah seorang Buddhis. Ia mempelajari filosofi Buddhis di Wadham College, Universitas Oxford dan ia menjadi Profesor Agama India di Universitas Bristol, Inggris. peneletiannya berpusat pada ajaran Buddha aliran Madhyamika. Namun ia akhirnya beralih kayakinan menjadi seorang ka****k Roma dan menulis buku Unexpected Way.   
3. Paul Hattaway adalah pemimpin dari Asia Harvest, sebuah badan yang bertujuan untuk 'menananmkan' gereja di Asia.   

Sanggahan Umat Buddha atas Lotus and The Cross dan Unexpected Way:

Umat Buddha tidak diam saja ketika mengetahui ada 2 buku seperti di atas. Muncul tulisan untuk menyanggah isi kedua buku tersebut.   
Sanggahan Umat Buddha atas Lotus and The Cross:   
http://unknowingmind.pbwiki.com/f/Dissent_Lotus_and_Cross_Final.pdf

Sanggahan Umat Buddha atas Unexpected Way:   
http://www.arsdisputandi.org/publish/articles/000299/article.pdf

Bahkan pendiri Sonrise Center For Buddhist Studies, sebuah lembaga Kristaini yang bertujuan untuk mempelajari agama Buddha sebagai bekal untuk mengubah keyakinan umat Buddha adalah seorang mantan Nichiren Shoshu, sebuah aliran yang bahkan tidak diakui oleh para umat Buddhis mainstream.    
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 07 September 2008, 05:22:59 PM by GandalfTheElder »
 Logged
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.
on: 07 September 2008, 05:39:04 PM »
Postingan di bawah ini pernah saya kirimkan ke forum BI:   

Iseng-iseng saya surfing di internet, ternyata banyak yang ber’ulah’ dan gembar gembor bahwa agama Buddha mendapat pengaruh dari agama Kristiani, konsep Buddhis ini dipengaruhi konsep Kristiani ini itu, kemudian juga banyak yang menyodorkan klaim-klaim bahwa agama Kristiani masuk ke Negara-negara Asia Timur dan Selatan pada tahun yang sangat awal (dengan mengaku-ngaku bahwa Kristiani adalah agama leluhur). Hal ini membuat saya tergerak untuk mencari tahu yang sebenarnya. Eh, ternyata memang banyak dari klaim mereka itu hanya berdasarkan spekulasi dan gatuk-gatukan saja, tanpa disertai bukti yang memadai. Oleh karena itu, izinkanlah untuk saya men-sharingkan beberapa poin daripada klaim-klaim tersebut beserta sanggahannya.   

Klaim-klaim dari pihak Kristiani di website Keikyo: http://www.keikyo.com/index-e.html

Mereka mengklaim bahwa Mahayana adalah “Christianized Buddhism” atau agama Buddha dengan pengaruh Kristiani Nestorian, contohnya dengan adanya konsep “Juruselamat” seperti Amitabha. Yang terakhir adalah konsep “roh” sebagaimana yang hanya ada dalam Mahayana dan tidak ada dalam Theravada.   
Jawab: Problem teori ini adalah Mahayana muncul pada abad 1 M di kerajaan Kushan di Asia Tengah (sekarang Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan dsb), sedangkan kaum Kristiani khususnya Nestorian baru datang ke Asia Tengah 400 tahun kemudian yaitu sekitar abad ke-5 M. Oleh karena itu tidaklah mungkin Mahayana dipengaruhi oleh Kristianitas. Untuk menunujukkan bahwa agama Kristiani mempengaruhi agama Buddha sebelum kaum Nestorian datang, maka seseorang harus membuktikan terlebih dahulu bahwa ada kontak antara “Kristiani Thomasite” di India Selatan dan Kerajaan Kushan di India Utara (sekarang Pakistan).   

"Kristiani Thomasite" sebagaimana secara tradisi berasal dari kedatangan rasul Thomas pada tahun 52 M di selatan India dan menyebarkan agama Kristiani serta mendirikan gereja di sana. Namun tampaknya tradisi ini kurang disertai bukti yang kuat. Untuk lebih jelasnya coba lihat www.hamsa.org, di mana di sana dijelaskan ketidakmungkinan Rasul Thomas datang ke India. Yang paling penting untuk diketahui adalah komunitas Kristiani di India Selatan baru eksis sekitar tahun 345 M, dibawa oleh pedagang Thomas Cananeus di mana mungkin terjadi kesalahpahaman bahwa Thomas Cananeus dianggap sebagai Rasul Thomas.    

Sedangkan sebelum 345 M, Mahayana sudah eksis di India. Lagipula memang tidak ada kontak antara Mahayana di utara dengan “Kristiani Thomasite” di selatan. Oleh karena itu, tidak masuk akal apabila Mahayana dipengaruhi oleh agama Kristiani.   

Bapa Pierre Humbertclaude menulis bahwa ajaran sekte Amitabha sangat mirip dengan Kristiani, sehingga ia mengatakan bahwa sekte Amitabha dipengaruhi oleh ajaran Kristiani Nestorian . Demikian juga oleh beberapa sejarawan lainnya yang mengklaim bahwa Mahayana dipengaruhi oleh Kristiani dan terutama lagi oleh para sejarawan Keikyo.

Shan Dao, Patriark Tanah Suci di Tiongkok, hidup pada masa Nestorian masuk ke Tiongkok. Berkatnyalah ajaran Tanah Suci mulai meluas. Ia adalah teman baik Raja Gaozong. Raja Gaozong adalah raja yang menerima dan mengakui serta menghormati agama Nestorian. Oleh karena itu banyak yang menduga bahwa Shan Dao mendapat pengaruh dari agama Kristiani Nestorian dikarenakan hubungan keduanya yang erat. Ajaran Amitabha juga dianggap mirip dengan Kristiani. Patriark Tanah Suci di Jepang seperti Honen dan Shinran juga diduga mendapat pengaruh dari agama Kristiani.

Jawab: Inskripsi tentang Amitabha ditemukan di Pakistan dan berasal dari abad ke-2 M. Amitabha Buddha dan Tanah Sucinya pertama kali diperkenalkan lewat Sutra Pratyutpanna dan Sutra Maha Sukhavativyuha yang diterjemahkan oleh Lokaksema dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. Para sejarawan menduga bahwa penghormatan pada Amitabha Buddha dimulai pada abad 1 M atau 2 M di Asia Tengah dan India Utara. Tentu pada saat itu Kristiani belum masuk ke Asia Tengah maupun India Utara. Kristiani baru masuk ke Asia Tengah pada abad ke-5 M. Oleh karena itu pemujaan Amitabha Buddha sudah ada terlebih dahulu daripada agama Kristiani di Asia Tengah dan India. Tidak mungkin ajaran Amitabha dipengaruhi oleh agama Kristiani.   

Demikian juga di Tiongkok, Sutra-sutra tentang ajaran Amitabha sudah ada sejak abad ke-2 M, jauh sebelum agama Kristiani masuk ke Tiongkok. Bahkan Sutra Mahasukhavativyuha adalah salah satu sutra pondasi ajaran Tanah Suci.     

Kemudian sutra-sutra tentang Amitabha yang lain yaitu: Amitayur-dhyana diterjemahkan oleh Jiangliang Yeshe pada masa dinasti Song eradinasti Utara Selatan (abad ke-5 M) dan juga oleh Dharmamitra pada masa dinasti Song era dinasti Utara Selatan (abad ke 5 M). Kemudian Suta Amitabha yang diterjemahkan 3 kali: oleh bhiksu asal kerajaan Kucha (Asia Tengah) Kumarajiva pada tahun 402 M, oleh bhiksu Gunabhadra sekitar tahun 446 M, oleh bhiksu Xuanzang pada tahun 650 M.   

Sedangkan ada 12 versi terjemahan Mahasukhavativyuha, dikutip dari artikel yang dituli bro. Ching ik di milis Mahayana_Indonesia:   

1.Wuliang Shoujing (2 jilid).   
Diterjemahkan oleh bhiksu asal Persia –An Shi Gao, pada abad ke 2 M. Masih menjadi pertanyaan apakah benar kitab ini adalah terjemahan bhiksu An Shi Gao, karena sejauh yang diketahui, semua kitab terjemahan An Shi Gao merupakan kitab Hinayana.   
2.Wuliang Qingjing Pingdeng Juejing (4 jilid).   
Diterjemahkan oleh bhiksu Lokaraksha/Lokaksema pada abad ke 2 M.
3.Foshuo Amito Sanye Sanfo Shalou Fotan Guo Duren Daojing (2 jilid).   
Diterjemahkan oleh bhiksu ZhiQian pada masa Tiga kerajaan (abad ke 3 M).
4.Wuliang Shoujing (2 jilid).   
Diterjemahkan oleh bhiksu Sanghavarman pada 252 M.
5.Wuliang Qingjing Pingdeng Juejing (2 jilid).   
Diterjemahkan oleh bhiksu BaiTing pada masa tiga kerajaan (abad ke 3 M).
6.Wuliang Shoujing (2 jilid)   
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmapala pada masa dinasti Jin Barat (antara abad ke 3 – 4 M).
7.Wuliang Shou Zhizhen Dengjue Jing (2 jilid)   
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmabala pada masa dinasti Jin Timur (abad ke 4 M)
8.Xin Wuliang Shoujing (2 jilid).   
Diterjemahkan oleh bhiksu JueXian pada masa dinasti Jin Timur (abad ke 4 M).
9.Xin Wuliang Shoujing (2 jilid).   
Diterjemahkan oleh bhiksu BaoYun pada masa dinasti Jin Timur (abad ke 4 M).
10.Xin Wuliang Shoujing (2 jilid).   
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmamitra pada masa dinasti utara selatan (abad ke 5 M).
11.Wuliang Shou Rulai Hui (2 jilid).   
Diterjemahkan oleh bhiksu Bodhiruci pada masa dinasti Tang (awal abad ke 8 M).
12.Daceng Wuliang Shouzhuang Yanjing (3 jilid)   
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmabhadra pada masa dinasti Song (antara abad ke 10-12 M)

Kitab komentar Sukhavati seperti Wuliang Shoujing Youpo Tishe/ Wangshen Lun (Maha Sukhavati-vyuha Upadesa) karya Vasubandhu. Diterjemahkan oleh Bodhiruci di abad ke 6 M. Vasubandhu hidup pada abad ke-4 M, sebelum Nestorian masuk ke Asia Tengah.

Bisa kita lihat bahwa setidak-tidaknya sudah ada BUKTI bahwa pemujaan Amitabha beserta konsep Tanah Sucinya sudah ada di Asia Tengah dan Tiongkok pada abad 1 M sampai 4 M, di mana pada masa itu Kristiani Nestorian belum memasuki Asia Tengah maupun Tiongkok. Pondasi dan konsep fundamental dari sekte Tanah Suci semuanya berasal dari 2 sutra yaitu (Amitabha Sutra, Mahasukhavativyuha Sutra dan Amitayurdhyana Sutra). Dan ketiga sutra tersebut seperti kita lihat, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa sebelum Kristiani Nestorian masuk ke Tiongkok. Oleh karena itu tidaklah mungkin Kristiani Nestorian mempengaruhi sekte Tanah Suci.   

Kristiani Nestorian masuk ke Tiongkok setidak-tidaknya tahun 578 M dan 631 M (abad 7 M). Sedangkan Patriark pertama dan pendiri sekte Tanah Suci di Tiongkok adalah Bhiksu Huiyuan yang hidup pada tahun 334-416 M. Oleh karena itu tidak mungkin sekte Tanah Suci di Tiongkok berkembang dari ajaran Kristiani Nestorian. Patriark kedua Tanah Suci Tan Luan juga hidup sebelum kedatangan Nestorian ke Tiongkok, yaitu tahun (476-542 M).   

Dan memang benar ajaran sekte Tanah Suci disempurnakan oleh Shan Dao, namun kita lihat bahwa ajaran Shan Dao sendiri juga berdasarkan ajaran Huiyuan dan Tanluan serta Daochuo, patriark-patriark Tanah Suci sebelumnya. Tidak ada transformasi dalam ajaran Tanah Suci yang dilakukan oleh Shan Dao yang mengingatkan kita akan paham Kristiani ataupun yang membuat kita melihat paham Kristiani dalam sekte Tanah Suci. Tidak ada. Semua yang diajarkan Shan Dao adalah berdasar Patriark sebelumnya dan berdasarkan/berpondasikan 3 Sutra terpenting dalam Sekte Tanah Suci. Demikian juga Patriark sekte Amitabha di Jepang seperti Honen dan Shinran, mereka mendasarkan pengertian mereka pada ajaran Shan Dao yang notabene juga berdasarkan ajaran Tan Luan. Ini dapat dilihat bahwa pada aliran Jodo (Tanah Suci) di Jepang, Tan Luan dianggap sebagai Patriark pertama Tanah Suci Tiongkok.   

Bahkan dalam The Pure Land Doctrine as illustrated in Shoku’s “Plain-wood” Nembutsu, in The Eastern Buddhist oleh Shidzutoshi Sugihira, disebutkan bahwa apabila inskripsi tahun 781 M menunjukkan hubungan yang dekat antara Buddhis dan Kristiani, maka malah mungkin akan menunjukkan sebaliknya, bahwa ada pengaruh dari agama Buddha, khususnya sekte Tanah Suci kepada ekspresi keimanan Kristiani yaitu “Untuk berlayar dengan kapal welas asih menuju kerajaan Cahaya”, orang yang menulis ungkapan barusan meminjam kata-kata dari sekte Buddhis Tanah Suci.   

Bahkan Kepala Vihara dari Pagoda Yun Si Se dekat Hangchow, menulis pada Bapa Matthew Ricci mengkomplain: “Kristiani mengkopi ajaran Tanah Suci” (Hobogirin, art. Bodhai (= Bodhi), I, p. 92, according to the Jodo.)   

Kesimpulan:Ajaran sekte Tanah Suci/Amitabha (Amidism) telah tumbuh, berakar dan memiliki pondasi yang kuat di Asia Tengah, India Utara dan Tiongkok beratus-ratus tahun sebelum kedatangan Kristiani Nestorian di Asia Tengah dan Tiongkok. Adalah omong kosong besar apabila ada orang yang menyatakan bahwa Nestorian mempengaruhi sekte Tanah Suci.
on: 07 September 2008, 05:56:20 PM »
Literatur Sansekerta baru muncul sekitar abad ke-2 M. Oleh karena literatur Mahayana yang berbahasa Sansekerta ditulis setelah Yesus lahir, maka tkes-teks tersebut dipengaruhi oleh agama Kristiani.   

Jawab: Klaim yang sangat tidak berdasar! Karena literatur Sansekerta sudah ada 500 Sebelum Masehi yang artinya 500 tahun sebelum Yesus lahir. Bahkan saya pernah baca di Kitab Tipitaka Pali, bahwa Sansekerta telah dikenal pada zaman Sang Buddha. Grammar dari Sansekerta diatur oleh Panini. Untuk lebih jelasnya lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Sanskrit dan http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_Hybrid_Sanskrit. Apalagi tidak ada bukti bahwa ada kontak antara Mahayana dan Kristiani di Asia Tengah pada abad ke-2 M, kontak baru terjadi sekitar abad 5 M.   

Berikut ini sejumlah klaim tahun-tahun awal di mana Nestorian datang ke Tiongkok, di mana semuanya disertai tanpa adanya bukti:   
1. Christians in China before 1550 oleh A.C. Moule menyebutkan bahwa salah satu dari 12 rasul, Thomas, datang ke Tiongkok dan medirikan gereja di Beijing   
2. Christians in China before 1550 oleh A.C. Moule menyebutkan bahwa misionaris Kristiani telah datang ke Tiongkok pada tahun 64 M    `
3. John Stewart mengklaim bahwa di tahun 64 M, Kaisar han Mingdi memerintahkan utusannya untuk ke barat mencari tahu tentang seorang besar di barat dan akhirnya mereka bertemu dengan dua orang misionaris Nestorian dari Syria yang kemudian diundang ke istana   
4. Arnobius menulis pada tahun 300 M di mana Injil telah disebarkan sampai ke Tiongkok.

Jawab:
1. Sama sekali tidak ada bukti bahwa rasul Thomas datang ke Tiongkok, di India saja sudah diragukan, apalagi Tiongkok!   
2. Sekali lagi, tidak ada bukti.   
3. Kalau memang inilah yang dijadikan patokan bahwa Kristiani masuk ke Tiongkok pada tahun 64 M, maka patokan itu adalah salah besar. Karena dua orang misionaris itu sebenarnya adalah Bhiksu Buddhis Kasyapamatanga dan Dharmaraksha (sesuai fakta sejarah yang ada), BUKAN misionaris Kristiani. Dan pada masa Han Mingdi inilah agama Buddha resmi masuk ke Tiongkok.
4. Sekali lagi tidak ada bukti, beberapa orang menyodorkan bukti bahwa ditemukan salib besi di timur Tiongkok, tepatnya Provinsi Jiangxi dengan inskripsi bahwa salib tersebut dibuat tahun 238 dan 250 M. Namun hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa agama Kristiani telah masuk ke Tiongkok, karena mungkin itu hanya barang dagangan saja sepanjang Jalur Sutera. Oleh karena itu penemuan tersebut tidak bisa dipakai sebagai bukti yang kuat akan masuknya agama Kristiani ke Tiongkok. Sama seperti ada beberapa penemuan yang mengatakan bahwa agama Buddha telah masuk ke Tiongkok pada zaman Dinasti Qin (221-206 SM), namun kurang dapat dijadikan BUKTI yang kuat. Agama Buddha lebih tepatnya dikatakan masuk ke Tiongkok pada zaman Dinasti Han. Dan inipun masih jauh lebih awal ketimbang tahun masuknya agama Kristiani ke Tiongkok.   

Ullambana berasal dari Festival Roh (All Souls Day) dari Kristiani.   

Jawab: Klaim ini sama sekali tidak memiliki bukti. Yang ada hanyalah sekedar spekulasi kaum Kristiani saja. Kalau boleh dikatakan, saya cenderung untuk mengatakan bahwa Ullambana (Yulanpen/ Obon) mendapat pengaruh dari Zhongyuan Jie, yaitu Festival Roh yang sudah berakar lama selama ribuan tahun di Tiongkok dan berasal dari agama Tao. Jadi di sini sama sekali tidak ada pengaruh Kristiani.   

Ullambanapatra Sutra diterjemahkan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa oleh Dharmaraksha (266-313 M) di mana pada saat itu tidak ditemukan satupun bukti yang mengatakan bahwa Nestorian ataupun segala bentuk Kristianitas telah masuk ke Tiongkok atau Asia Tengah pada masa itu. Doa pelimpahan jasa bagi para leluhur berdasarkan Ullmbana Sutra dimulai oleh kaisar Liang Wudi pada tahun 538 M (kaum Nestorian masuk ke Tiongkok baru kira-kira tahun 578 M atau 40 tahun setelah pengadaan upacara Ullambana oleh kaisar Liang Wudi) dan dipopulerkan oleh Amoghavajra pada tahun 732 M. Di Jepang dimulai tahun 606 M, yang juga sebelum kedatangan kaum Nestorian ke Jepang.   

Menurut website www.newadvent.org, setidak-tidaknya peringatan bagi leluhur atau orang yang meninggal, baru ada paling awal pada abad ke-6 M (500-an Masehi), sedangkan kita tahu bahwa Ullambana Sutra sudah ada 200 tahun sebelumnya.   

Dalam www.theosophy-nw.org, “…upacara ka****k Roma untuk mereka yang meninggal, yang diadakan pada tanggal 2 November, tidak eksis di tahun-tahun awal Kristianitas, maka tidak mungkin bangsa Tionghoa menyerap tradisi tersebut dari Latin, namun kalangan Kristianilah yang mengimitasi bangsa Mongol dan Tionghoa.”   
on: 07 September 2008, 06:11:55 PM »
Kristiani Nestorian telah masuk ke Jepang pada masa pemerintahan Shotoku Taishi yaitu 600 AD   

Jawab: Pendapat ini dikemukakan Sakae Ikeda dari Universitas Kyoto, bahwa ada seorang Nestorian bernama “Maru Toma” melayani Pangeran Shotoku. Tapi para sejarawan kebanyakan menyebut bahwa tahun kedatangan Nestorian di Jepang barulah tahun 736 M. Profesor Sakae Ikeda adalah satu dari sedikit yang mengklaim bahwa Nestorian sudah masuk ke Jepang pada tahun 600 M. Tampaknya kita harus meneliti lagi hal ini karena banyak penelitian yang bias dan tidak berdasar dari pihak peneliti Keikyo (Nestorian) sendiri! Dan versi lain, menurut website www.betnahrain.org, Nestorian masuk ke Jepang barulah pada tahun 650 M, di mana Shotoku Taishi sudah meninggal (621 M).   

Pihak Nestorian, khususnya sejarawan Ken Joseph Jr mengklaim bahwa klan Hata yang datang ke Jepang  adalah orang yang berasal dari Assyria (Turki). Pada awal abad-abad pertama Masehi mereka telah datang ke Jepang dan pada pertengahan abad ke-5, pada era Kaisar Oujin mereka datang lagi ke Jepang. Dengan demikian mereka mengklaim bahwa kedatangan Kristiani di Jepang lebih awal daripada kedatangan agama Buddha di Jepang, karena orang Hata disebutkan sebagai orang Yahudi yang beragama Kristiani. Oleh karena itu Kristiani adalah agama leluhur orang Jepang, demikianlah kata mereka.

Jawab: Faktanya adalah, menurut mayoritas sejarawan, yang dimaksud dengan klan Hata BUKANLAH orang Yahudi, melainkan berasal dari kerajaan Korea Baekje. Mereka adalah komunitas yang aktif pada periode Yamato, berdasarkan kitab sejarah Nihonshoki dan Kojiki. Namun klan Hata sebenarnya hanya melewati kerajaan Baekje saja. Menurut para ahli dan sejarawan, mereka adalah keturunan Pangeran Yuzuki no Kimi, yang juga merupakan keturunan kaisar Dinasti Qin yaitu Qin Shihuang. Pangeran Yuzuki pernah menjadi seorang pangeran Korea yang kemudian bermigrasi ke Jepang bersama-sama dengan penduduk klannya pada tahun 283 M.   

Bangsa Hata sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat Jepang. Klan mereka menyebar ke seluruh Jepang dan sangat ahli dalam hal-hal finansial. Mereka juga banyak membantu pembangunan kuil-kuil Shinto dan Vihara Buddhis seperti Koryuji. Kaisar Yuryaku memberi gelar pada klan mereka dengan nama Uzumasa (Yang dipelintir etimologinya dan digatuk-gatukan oleh Ken Joseph dengan kata-kata “Yesus Messiah”). Beberapa klan samurai dan beberapa penduduk di Neyagawa mengaku bahwa mereka adalah keturunan klan Hata.

Menurut Ken Joseph, dari nama Yuzuki No Kimi (弓月君), ia menemukan tempat bertuliskan 弓月 di Asia Tengah. Yang menjadi problem atas pernyataannya adalah “Kimi” BUKAN berarti “Tuan dari Asia Tengah” tetapi nama suatu peringkat pejabat di bawah kekuasaan Gubernur Propinsi di Jepang (Kuni no Miyatsuko) atau Gubernur Distrik (Agata-nushi). Problem kedua adalah Yuzuki tidak merujuk pada nama tempat, tetapi nama seorang Pangeran. Ken Joseph juga menjelaskan bahwa nama keluarga “Hata” diberikan pada semua bangsa asing, di mana Ia salah. Karena nama “Hata” (Qin) adalah keturunan bangsa Tionghoa dari Dinasti Qin yang berada di Jepang. (Sumber: www.wikipedia.com) Di sinilah maka sudah terlihat kesalahan pendapat Ken Joseph!

Lagipula dalam Nihon Shoki disebutkan bahwa Hata adalah nama klan, bukan nama suku bangsa!

Kagome crest di Kuil Ise menunjukkan “Star of David” yang merupakan simbol identitas bangsa Yahudi. Penemuan ini juga menunjukkan bahwa klan Hata adalah kaum Yahudi yang datang ke Jepang.   

Jawab: Nyatanya, Star of David adalah sebuah hexagram (bintang bersudut enam). Dan hexagram ini sudah ada terlebih dahulu di India ketimbang Yahudi. Penemuan arkeologikal yang paling awal tentang bukti bahwa kaum Yahudi menggunakan simbol ini adalah dari inskripsi Joshua ben Asayahu pada abad ke-7 M di Sidon. Sedangkan hexagram di India telah muncul sejak ribuan tahun yang lampau. Hexagram adalah simbol Mandala yang disebut “sadkona yantra” yang telah ada di kuil-kuil Hindu di India Selatan ribuan tahun yang lampau. Sadkona yantra menyimbolkan Nara-Narayana, tingkat meditasi yang sempurna di mana terjadi keseimbangan antara manusia dan Tuhan, apabila dilaksanakan dengan baik, akan membawa seseorang ke pencapaian Moksha.   

Dari Kaum Buddhis, maka dapat dilihat bahwa ada hexagram dalam buku Tibetan Book of Dead, di mana di tengahnya terdapat Swastika. Demikian juga dengan Mandala Vajrayogini, hexagram berada di tengah Mandala dan di tengahnya terlihat Vajrayogini yang berdiri.

Oleh karena itu, adanya hexagram di Kuil Ise kurang dapat dijadikan bukti. Karena agama Buddha sendiri juga mengenal hexagram yang berasal dari tradisi Hindu / India kuno. Mungkin saja hexagram di Kuil Ise dipengaruhi dari India bukan?? Apalagi mengingat bahwa agama Buddha yang notabene dari India, menjadi sangat terkenal serta meluas di Jepang, bahkan mempengaruhi agama Shinto, tak heran kalau nantinya sampai ada hexagram di Jepang.
 on: 07 September 2008, 06:24:13 PM »
Para sejarawan Nestorian mengklaim bahwa Shotoku Taishi dan Kukai sebenarnya beragama Kristiani Nestorian. Shinran dikatakan mempelajari ajaran Nestorian. Ajaran Tuhan dalam Kristiani mempengaruhi konsep Dainichi (Mahavairocana) dan “roh” dalam sekte Shingon.   

Jawab: Sungguh klaim yang tidak bertanggungjawab. Para sejarawan di seluruh dunia sudah pasti tahu bahwa Shotoku Taishi dan Kukai keduanya adalah Buddhis, suatu hal yang tidak dapat disangkal lagi. Kasus ini sama dengan kasus pemelintiran sejarah mengenai dua orang Bhiksu yang diundang oleh Kaisar Han Mingdi (dipelintir jadi 2 orang Kristiani).   

Tidak ada yang namanya roh (Atman) di sekte Buddhis manapun baik itu Thervada, Mahayana maupun Vajrayana. Jadi jelas tidak benar kalau sampai ada konsep “roh”(Atman) dalam agama Buddha. Mahavairocana Tathagata adalah Dharmakaya. Dharmakaya adalah “Realitas tertinggi” dalam agama Buddha yangd apat disebut juga sebagai Ke-Tuhanan dalam agama Buddha. Namun patut diingat bahwa Dharmakaya ini tak terkatakan dan Dharmakaya bukanlah Tuhan personal seperti dalam agama Kristiani. Personifikasian Dharmakaya seperti Mahavairocana ataupun Vajradhara, hanyalah sebuah simbolisasi daripada Dharmakaya itu sendiri, jadi jelas BUKAN Tuhan personal. Mahatman dalam agama Buddha jauh dari konsep Atman (roh), karena Dharmakaya dalam agama Buddha adalah Shunyata.   

Bahkan konsep Vairocana sudah ada jauh sebelum diterjemahkannya Mahavairocana Sutra. Vairocana sudah ada pada Brahmajala Sutra yang diterjemahkan tahun 406 M oleh Kumarajiva dan Avatamsaka Sutra diselesaikan terjemahannya oleh Buddhabadhra pada tahun 420 M. Maka setidak-tidaknya Vairocana Buddha telah muncul pada abad ke-4 M di India, pada masa sebelum Kristiani masuk ke Asia Tengah. Bahkan setahu saya, Vairocana Buddha juga disebutkan dalam Guhyasamaja Tantra yang berasal dari abad ke-4 M. Jadi tidak mungkin kalau Vairocana mendapat pengaruh dari agama Kristiani.   

Bahkan konsep Dharmakaya ini berakar pada konsep Dhammakaya pada kitab Tipitaka Pali yang notabene telah ditulis sebelum Yesus lahir! Konsep Dharmakaya dalam Mahayana juga sudah ada dalam Sutra Saddharmapundarika yang berasal dari abad 1 M.   

Dikatakan Shinran mempelajari The Sutra of the Teachings of the World-Honored One yang notabene adalah sutra Nestorian dan disimpan di Vihara Honganji (dibawa ke Jepang oleh Kukai). Tapi setahu saya, bagian yang berisi ajaran Kristiani Nestorian adalah bagian ke-3 saja dari sutra tersebut. Lagipula ajaran-ajaran dalam Sutra tersebut sama sekali tidak ditemukan dalam ajaran Shinran (Jodo Shinshu). Lantas apa benar kalau Shinran mempelajari sutra tersebut?? Sungguh mencurigakan!   

Rupang Maitreya Bodhisattva (Miroku) di Vihara Koryu-ji, tangan kanannya melekatkan jari tengah dengan jempolnya, yang menandakan Trinitas.   

Jawab: Klaim berlebihan yang sangat tidak berdasar, sekali lagi. Tangan Maitreya Bodhisattva di Vihara Koryuji tersebut membentuk Mudra Vitarka, dan banyak sekali rupang Buddha maupun Bodhisattva yang tangannya membentuk Mudra demikian. Mudra tersebut tentunya sama sekali tidak menyimbolkan Trinitas. Mudra Vitarka menyimbolkan ajaran, alasan, argumen.

Ikonografi Bodhisattva Maitreya berasal dari Yesus.   

Jawab: Kristian Gereja Timur atau kita sebut “Nestorian” (Chaldean) baru mulai menaklukkan Asia Tengah seawal-awalnya pada tahun-tahun awal  abad ke-5 Masehi. Dan kita tahu bahwa Asia Tengah dan India Utara adalah lokasi di mana banyak pemikiran Mahayana muncul.

Namun kita tahu Maitreya (Metteya) sudah ada dalam kita Tipitaka Pali yang ditulis pada tahun 29 SM yaitu sebelum Yesus lahir. Ikonografi Maitreya sudah muncul pada abad 1 M sebagai Seni “Greco-Buddhism” dan Beliau sering ditampilkan bersama-sama dengan Sakyamuni Buddha. Di abad ke-2 M dan ke-3 M juga terdapat ikonografi beliau dari Gandhara dan Mathura. (Sumber www.wikipedia.com) Semua ikonografi Maitreya telah muncul sebelum Nestorian ataupun segala macam bentuk Kristiani masuk ke Asia Tengah.   

Bahkan Sutra-sutra Maitreya paling awal telah diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa pada abad ke-4 M pada masa Dinasti Jin Barat oleh Dharmaraksha. Sutra Maitreya yang lain diterjemahkan pada awal abad ke-5 M. Sudah diketahui oleh umum dan oleh para ahli sejarah, bahwa setidaknya 100 tahun sebelum Sutra Buddhis tersebut diterjemahkan ke bahasa Tionghoa, maka Sutra-sutra tersebut sudah eksis di India. Jadi Sutra-sutra Mahayana tentang Maitreya setidak-tidaknya telah eksis pada abad ke-3 M dan 4 M, jelas pada masa tersebut Kristiani belum menaklukkan daerah Asia Tengah.   

Bahkan para sejawan pun sangat jarang menghubung-hubungkan Maitreya dengan Yesus, kebanyakan para sejarawan menghubungkannya dengan Dewa Mithra. Hanyalah sejarawan Kristiani yang punya maksud tertentu yang berusaha menunjukkan bahwa Maitreya dipengaruhi oleh Yesus, yang terbukti memang hanya spekulasi dan asal gatuk saja.   

Ritual dari Shingon Buddhism dipengaruhi oleh Ritual Kristiani seperti membakar dupa waktu berdoa atau pemakaman, menyalakan lilin, menggunakan tasbih (rosario) dan Kanjo yang berasal dari Baptis di Kristiani serta kata “Zhen-yen” yang dianggap berasal dari agama Kristiani.   

Jawab: Pendapat yang sangat aneh, penyalaan lilin dan dupa pada saat puja adalah hal yang sangat umum di berbagai agama, tidak hanya agama Buddha sekte Shingon saja. Pernyataan ini terlalu dibuat-buat berdasarkan atas kemiripan yang sangat umum! Bahkan menurut website Wikipedia, agama Hindu adalah agama pertama yang menggunakan dupa.   

Penggunaan tasbih telah ada di zaman India kuno dengan nama Japa mala. Justru ada indikasi orang Kristianilah yang ketika pergi ke India, salah mengartikan “japa mala” sebagai untaian mawar, sehingga ketika kembali ke Romawi mereka menyebutnya “Rosario”. Walaupun pendapat ini memang tidak selalu diterima, namun penggunaan tasbih oleh kaum Buddhis dan Hindu jauh lebih awal daripada pemakaiannya di agama Kristiani. Dari www.drukmo.com disebutkan bahwa para peneliti dan sejarawan setuju bahwa tasbih berasal dari India pada tahun 500 SM dan kemudian barulah menyebar ke berbagai daerah. Bahkan web Anglikan www.franciscan.org.au, mengakui bahwa tasbih digunakan di dalam agama Hindu 9 abad lebih awal daripada agama Kristiani.   

Pemakaian tasbih di dalam agama Buddha setidak-tidaknya ditemukan dalam Sutra Mokugenji (Mahuanzi) yang diterjemahkan semasa Dinasti Jin Timur (317-420 M). Di Sutra tersebut disebutkan mengenai 108 mala yang terbuat dari biji pohon Soapberry. Sedangkan pada abad ke-4 M, kaum Kristiani menggunakan tali bersimpul untuk berdoa dan bentuknya bukanlah seperti rosario sekarang ini dan sangat berlainan dengan tasbih di dalam agama Buddha atau bahkan bentuknya sama sekali berlainan dan tidak seperti tasbih. Karena tasbih Buddhis terbuat dari kayu atau biji (dan ini sudah ada pada masa abad ke-4 M juga) sedangkan di masa awal, kaum Kristiani menggunakan tali. Rosario yang paling awal baru eksis pada tahun 1075 M yang digunakan Lady Godiva.   

Dalam “History of Pure Land Buddhism” oleh Henri de Lubac, Kanjo berasal dari bahasa Sansekerta “Abhiseka” (Guan Ding) yang sudah ada di India sebelum agama Buddha eksis, maka tidak mungkin tradisi Kanjo berasal dari baptisme Kristiani.  Di India pada awalnya, yaitu peradaban Indo-Arya, abhiseka adalah konsekrasi bagi para raja (upacara para pangeran dalam menjadi seorang raja), di mana kepala mereka diperciki air dari 4 samudera dan 4 sungai. Abhiseka dalam Buddhis juga bisa dilakukan beberapa kali, namun baptis dalam Kristiani ya hanya satu kali saja. Bahkan mereka yang mendalami Tantra, akan tahu persis perbedaan antara Abhiseka (inisiasi) dan baptis Kristiani.   

Mengenai Zhenyen yang berarti “True Word” adalah terjemahan umum yang digunakan untuk ‘Mantra” dan istilah ini juga digunakan oleh para Taois (bahkan mungkin sebelum agama Buddha sekte Zhenyen ada). Oleh karena itu tidak mungkin kalau kata”Zhenyen” berasal dari Yesus sebagai “Word/Logos/Tuhan”. Di samping itu sama sekali tidak ada bukti yang menyatakan bahwa kata-kata Zhenyen berasal dari agama Kristiani, yang ada hanya spekulasi.
on: 07 September 2008, 06:33:43 PM »
Kukai menanti kedatangan Maitreya. Tidak diragukan lagi bahwa pernyataan ini berasal dari pengaruh agama Kristiani (penantian Hari Penghakiman/Kedatanagn Kristus yang Kedua)

Jawab: Tidak benar. Sebelum Kukai, sudah ada Mahakashyapa yang menanti kedatangan Boshisattva Maitreya di gunung Kukkutapada (gunung kaki Ayam – Jizu Shan) dan ini ada dalam salah satu Sutra tentang Maitreya yang telah ada pada abad ke-4 M, jadi sebelum Nestorian masuk ke Asia Tengah maupun Tiongkok. Tanpa adanya kontak antara Kristiani dan Buddha, bagaimana bisa figur Yesus mempengaruhi Maitreya?   

Para sejarawan kebanyakan mengatakan bahwa “pengikut Keikyo(Nestorian)secara resmi datang ke Jepang pada tahun 736 M (era kaisar Shomu)   

Jawab: Satu-satunya catatan sejarah yaitu Sekuel dari Kronologi Jepang menyebutkan, pada tahun ke-8 penanggalan Tenpyo, era kaisar Shomu. “Pada tanggal 23 Agustus, utusan Dinasti Tang, Nakatomi Ason Nashiro, kelas kedua dari peringkat kelima dari Ordo, menjalani pertemuan yang diadakan oleh kaisar dengan 3 orang Tiongkok dan 1 orang Persia” Kemudian dikatakan, “Pada tanggal 3 November, Kaisar… memberikan gelar pada Kou Hotouchou, orang Tiongkok; Li Mitsuiei (Rimitsui), orang Persia, dsb” Tidak ada huruf yang menyatakan kedatangan Nestorian dalam catatan ini.    

Namun dalam the “History of Japanese Religions” (1951, Kyobunkan), Antei Hiyane mengotak-atik huruf-huruf tersebut sehingga dapat diinterpretasikan sebagai pengikut Keikyo (Nestorian). “Di tahun ke-8 penanggalan tenpyo (736), ketika utusan ke Tiongkok, Nakatomi Nashiro kembali ke Tiongkok, ia bersama-sama dengan satu orang Persia bernama Rimitsui dan satu orang keijin bernama Kouhou, tetapi Persia dan Keijin dapat juga disebut sebagai pengikut Keikyo atau Kristiani Nestorian”, begitu yang ditulis dalam buku Antei Hiyane tersebut.

Antei Hiyane telah merubah pembacaan 唐人(Toh-jin/orang Tang) menjadi 景人 (orang Nestorian). Dan beberapa orang juga merubah pembacaan 李密翳(Li Mitsuei) menjadi 李密医 (Li Mitsui). Namun “翳 (ei)”  berarti “sehelai rambut” dan merupakan pemaksaan apabila dibaca sebagai “醫(obat)”. Bebas untuk kita berimajinasi namun kita harus menghindari untuk merubah-ubah catatan sejarah kenegaraan. Banyak yang percaya bahwa teori Antei Hiyane yang mengatakan bahwa Keikyo telah masuk ke Jepang pada tahun 736 M adalah tidak tepat.

Akhirnya, dalam  “Dictionary of Japanese Christianity” (Kyobunkan, 1988) dikatakan:
"Juga, berdasarkan catatan bagian bulan Juli dan November pada tahun ke-8 penanggalan tenpyo 736) dari Sekuel Kronologi Jepang, di mana ada seorang Persia yang datang ke Jepang, beberapa orang menyimpulkan dari catatan tersebut bahwa seorang misionaris Nestorian datang. Namun, tidak ada bukti bahwa orang Persian tersebut beragama Kristiani Nestorian."

Di sini kita lihat bahwa ternayta berdasarkan sejarah, yang dimaksud adalah kedatangan orang Persia dan tidak semua orang Persia beragama Nestorian bukan?   

Berdasarkan teori kaum sejarawan Keikyo, mereka mengklaim bahwa Ratu Komyo, setelah bertemu dengan Li Mitsui (Rimitsui), misionaris Nestorian, membangun rumah sakit (Ryobo-in) untuk kaum miskin, pembagian obat gratis (Seyaku-in), penampungan yatim piatu (Hiden-in) dan ia mulai melakukan pekerjaan mulianya. Bukanlah karakteristik Buddhis pada zaman dahulu untuk melakukan kegiatan sosial seperti yang dilakukan Ratu Komyo. Nama “Komyo” juga adalah nama yang berasal dari Keikyo (Nestorian).

Jawab: Di dalam teori ini ada satu hal yang fatal. Pada tahun kedua Tenpyo (730 M), Ratu Komyo membangun Hiden-in, Seyaku-in dan Ryobo-in. Yaitu 6 tahun sebelum kedatangan Rimitsui ke Jepang. Maka tidak mungkin Ratu Komyo membangun Hiden, Seyaku dan Ryobo-in atas dasar pengaruh Nestorian. Dikisahkan bahwa dengan tangannya sendiri, Ratu Komyo merawat ribuan mereka yang tidak beruntung.   

Pembangunan Hiden-in, Seyaku-in dan Ryobyo-in sebelumnya juga telah dilakukan oleh Pangeran Shotoku pada tahun 593 M, bersamaan dengan pembangunan Vihara s**tenno-ji. Ada pihak Nestorian yang mengklaim bahwa seorang Nestorian bernama Maru Toma mendampingi Shotoku Taishi dan di sana ikut mempengaruhi Shotoku dalam membangun Hiden, Seyaku dan Ryobo (alasan mereka adalah pada saat itu kaum Buddhis jarang sekali berinteraksi dalam bidang amal kesehatan). Tapi hal ini TIDAKLAH mungkin terjadi, karena klaim dari pihak Keikyo mengatakan bahwa Maru Toma mendampingi Shotoku sekitar tahun 600 M, padahal Pangeran Shotoku membangun Hiden, Seyaku dan Ryobyo pada tahun 593 M, 7 (tujuh) tahun sebelum kehadiran Maru Toma. Ini semakin menunjukkan kecerobohan kaum sejarawan Keikyo karena terlalu bernafsu untuk menyebarkan agama Kristiani ke Asia Timur.   

Bahkan sejak tahun-tahun pertama kedatangan para Bhiksu dari Asia Tengah ke Tiongkok, selain menyebarkan Dharma, mereka juga aktif dalam bidang kesehatan. Bahkan dikatakan para Bhiksu mendistribusikan obat-obatan di antara institusi amal atau sosial.   

Nama anak-anak Ratu Komyo adalah “Asukabe-Hime” dan dipanggil juga “Komyo shi” (anak cahaya). Dikatakan bahwa ia diberi nama Komyo karena ia memiliki kecantikan yang bersinar (P. 42, “Empress Komyo” oleh Rokuro Hayashi, Yoshikawa Kobunkan, 1986). Maka tidak mungkin sang ratu dinamakan Komyo oleh karena pengaruh Nestorian.
« Reply #6 on: 07 September 2008, 06:41:00 PM »
Menurut sejarawan Masanori Tomiyama, Tenjukoku Mandara di Chugoji menggambarkan Surga Kristiani tempat dimana Yesus berada. Tenjukoku Mandara menggambarkan tempat di mana Shotoku Taishi setelah meninggal berada. Tenjukoku Mandara juga mempengaruhi konsep Tanah Suci Amitabha di kemudian hari.

Jawab: Memang, Tenjukoku Shucho Mandara tergolong berbeda apabila dibandingkan dengan Mandara (Mandala) Buddhis lainnya. Kata-kata “Tenjukoku” tidak ditemukan dan asing dalam Sutra-sutra Buddhis. Oleh karena itu kaum sejarawan Keikyo dengan mudah membuat teori bahwa Tenjukoku Mandara adalah gambaran Kerajaan Surga Kristiani.   

Arti dari “Tenjukoku Mandara” adalah “Mandala Tanah Kehidupan Tak Terbatas” (artinya mirip dengan arti “Sukhavativyuha”). Mandala itu menggambarkan tempat di mana Shotoku terlahir setelah meninggal, dan merupalan semacam “Paradise”. Oleh karena itulah beberapa sejarawan juga menghubungkannya dengan Tanah Suci Amitabha (Sukhavati) ataupun Tanah Suci Maitreya (Tusita). Tapi anehnya, figur sentral di Sukhavati dan Tusita yaitu Amitabha dan Maitreya, tidak digambarkan dalam Mandala tersebut. Oleh karena itu tampaknya penelitian para sejarawan ini kurang meyakinkan.   

Tenjukoku Mandara dibuat segera setelah meninggalnya Shotoku Taishi dan ibunya, Ratu Anahobe no Hashihito. Tenjukoku dibuat replikanya pada tahun 1275 M. Sekarang tenjukoku Mandara disimpan di Vihara Chuguji tempat para Bhiksuni. Beberapa sejarawan yang objektif mengatakan bahwa sebenarnya motif pada Tenjukoku hanyalah motif pemakaman seorang pangeran yang mana sangat dekat dengan motif monument-monumen pemakaman yang ditemukan di Tiongkok dan Korea. Dan ada beberapa lagi yang menyatakan bahwa motif Tenjukoku adalah motif penggambaran pemakaman pada periode Kofun. Namun belakangan ini ada sekelompok agama yang haus akan banyaknya umat, berusaha untuk meyakinkan masyarakat dengan spekulasi mereka yang tanpa bukti.   

Apabila Tenjukoku Mandara adalah penggambaran surga Kristiani, mengapa di sana tidak ada gambaran malaikat satupun (di dalam Mandala tersebut)? Padahal kita tahu bahwa malaikat sangatlah berkaitan erat dan bahkan mungkin tidak dapat dipisahkan dari apa yang namanya Kerajaan Surga versi Kristiani. Terus mengapa juga tidak ada gambar salib maupun Tuhan Yesus? Katanya Surga Kristiani, tapi kok tidak ada? Nah ini jelas menunjukkan bahwa pendapat “Tenjukoku adalah Surga Kristiani” adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan hanya sebatas spekulasi tanpa dasar yang kuat dan tanpa bukti.   

Malah di bagian bawah Mandara, digambarkan dengan jelas setangkai teratai dan seorang Buddha (bukan Amitabha maupun Maitreya) yang duduk di atas teratai tersebut. Di sampingnya digambarkan seorang Bhiksu membunyikan bel. Ditotal terdapat enam figur Buddha dalam Tenjukoku Mandala(Approaches to Iconology By Brill Academic Publishers). Nah ini jelas menunjukkan bahwa Tenjukoku Mandara tersebut jelas-jelas bersifat Buddhis, bukan Kristiani, walaupun sebenarnya Mandala tersebut cukup asing di dunia Buddhis.   

Tenjukoku Mandara dibuat atas perintah Putri Tachibana no Oiratsume (istri Pangeran Shotoku Taishi) dan dibuat oleh Yamato no Aya no Makan, Koma no Kasei, dan Aya no Nuka Kori di bawah pengawasan artis Korea Kurabe no Hata Kuma.   

Dalam buku Jogu Shotoku hoo Teisetsu dijelaskan bahwa Putri Tachibana sangat sedih atas meninggalnya Shotoku Taishi, ia kemudian pergi menemui Ratu Suiko dan mengatakan bahwa ia tidak dapat menahan kesedihannya. Kemudian Ratu Suiko menyuruh para pelayan wanitanya untuk menenun mandala sutra yang menggambarkan kehidupan Shotoku di dunia lain, Tenjukoku.

Kemudian ditulis dalam Shotoku Taishi Denki:    
Pangeran Shotoku, berlutut di hadapan kuburan ibunya, bersedih atas kematiannya. Ia (Shotoku) menangis selama 7 hari 7 malam, berdoa agra muncul relik darinya. Ia kemudian membuka rahasia sebenranya tentang identitas sejati ibunya:   

“Sejak awal, ibuku adalah honji (avatar?) dari Pendiri Alam Annyo (Tanah Suci Sukhavati). Oleh karena cinta kasihnya, ia bahkan menolong orang yang bahkan tidak ada hubungan dengannya, ia meninggalkan tahta teratainya di Tingkat kesembilan Tanah Suci dan terlahir di antara makhluk-makhluk yang diliputi kegelapan batin (bonbu), berkelana di 6 alam samsara dan tinggal bersama mereka di tanah berdebu ini. Walaupun jodoh karmanya di alam (Saha) ini sudah berakhir, ia tidak kembali ke Tanah Suci asalnya, tetapi memutuskan untuk terus membimbing para makhluk hidup. Aku tidak tahu di mana ibuku terlahirkan kembali! Apakah ia berada di alam apaya ataukah Tanah Suci?”   

Setelah mengucapka kata-kata tersebut, Shotoku kemudian berdoa agar ia ditunjukkan tempat di mana ibunya terlahirkan kembali. 7 hari kemudian, harapannya terkabulkan, dan seorang dewi muncul dari makam Ratu Hashihito (ibu Shotoku) dan menenangkan Shotoku:

“Meskipun aku sudah menghabiskan jodoh karmaku dengan alam (Saha) ini, aku tidak akan kembali ke Tanah Suci Barat, tetapi akan tetap berada di alam yang tercemar ini untuk memberikan manfaat bagi semua makhluk yang mempunyai kejodohan denganku. Aku akan terlahir di Tenjukoku (Tanah Usia Tanpa Batas) menuju India. Oleh karena orang-orang yang diliputi kegelkapan batin (bonbu) memiliki berbagai halangan dan ketidaksucian, maka banyak yang tidak dapat terlahir di Tanah Suci Barat (Sukhavati). Oleh karena itulah, aku telah mendirikan untuk sementara Tenjukoku ini. (Tenjukoku) adalah Tanah Suci di tanah yang tercemar. Memberi kesempatan bagi mereka yang mempunyai halangan karma yang berat untuk terlahir di sana (Tenjukoku).”   

Tanah Suci Tenjukoku juga digambarkan mirip dengan Sukhavati. Hanya dengan melihat pohon (di tanah tersebut), seseorang tercerahkan dan hanya menyentuh rumputnya seseorang mendapatkan kenyamanan (di Mandala Tenjukoku juga digambarkan pohon dan rumput). Di tengah-tengah Tenjukoku terdapat istana bertingkat 4 dan ibunya tinggal di tingkat keempat.

Ibunya juga kemudian mengatakan bahwa Shotoku sendiri akan meninggal pada musim semi setahun kemudian dan akan bergabung dengannya di Tanah Sucinya. Shotoku merespon dengan bahagia dan memohon ibunya untuk menunjukkan di hadapan matanya karakteristik dari Tenjukoku. Ibunya kemudian berkata “Inilah Tenjukoku”. Tergerak dan kagum, Shotoku bernamaskara sangat dalam. Ia kemudian mengkopi sendiri gambar Tenjukoku dengan kedua tangannya. Bibinya, Ratu Suiko, tergerak oleh ceritanya dan dengan gambar Shotoku, maka ia memerintahkan para pelayan wanita untuk menyulam Tenjukoku Shochu Mandara. Para pelayan wnaita tersebut menggunakan 5 macam warna sutra dan membuat mandala yang sangat besar dan kemudian disimpan di Horyuji.   
Oleh karena itu versi cerita Shotoku Taishi Denki dengan Jogu Shotoku berbeda, namun ada kesamaannya yaitu pertama kali diawali dengan kesedihan dan Mandala tersebut sama-sama dibuat atas perintah ratu Suiko. Hubungan suami-istri di Jogu berubah menjadi ibu-anak di Shotoku Taishi Denki. Shotoku Taishi Denki juga memberikan arti yang jelas tentang kata-kata Tenjukoku (天寿国). Di dalam buku tersebut juga ditulis bahwa Ratu Hashihito adalah emanasi Amitabha yang berasal dari Sukhavati. Setelah meninggal, ia memutuskan untuk tidak kembali ke Sukhavati, namun medirikan Tanah Sucinya sendiri yaitu Tenjukoku yang berada dekat India. Dalam cerita tersebut juga terkandung teori honji suijaku yang memang meluas di Jepang.
Shotoku Taishi Denki ditulis pada abad ke-13 M di mana pada saat itu ajaran Amitabha telah meluas di Jepang. Namun patut perlu diketahui juga, menurut ahli Buddhis Robert E Morell, pemujaan Amitabha diperkenalkan ke Jepang sebelum 6 Sekte Nara (710-794 M). Pemujaan dan ajaran Amitabha Buddha telah masuk ke Jepang pada zamannya Shotoku Taishi. Oleh karena itu, tidak heran kalau Tenjukoku berhubungan dengan Sukhavati. Bahkan rupang-rupang Amitabha sudah ada sebelum Jodo-shu dan Jodo Shinshu (2 sekte Tanah Suci) muncul di Jepang.

Chuguji engi dan Shotoku Taishi mandara koshiki keduanya ditulis pada tahun 1273–1275 M oleh Joen, seorang Bhiksu Tendai dan supporter daripada Bhiksuni Shinnyo yang aktif mempopulerkan Tenjukoku Mandara.. Kedua teks tersebut juga selaras dengan isi Shotoku taishi Denki. Terdapat inskripsi batu pada makam Pangeran Shotoku yang bertuliskan:

Ratu Anahobe no Hashihito (孔部間人皇后)adalah emanasi Amitabha Tathagata (弥陀如来), Pendiri “Alam Surgawi”(gokuraku-kai 極楽界).    

Inskrpsi batu lainnya pada makam Shotoku:   
(Kannon/Shotoku) Ikrar dari Mahamaitri Mahakaruna.   
Adalah menganggap semua makhluk hidup sebagaimana anak mereka sendiri.   
Oleh karena inilah, sebagai “upaya”, dari Arah Barat.   
Ia terlahir kembali di tanah Jepang dan menyebarkan Dharma di sini.   

“Aku adalah Guze no Kannon (Avalokitesvara Bodhisattva)   
Istriku Joe adalah Dai Sesihi (Mahasthamaprapta Bodhisattva)   
Ibuku yang Maha welas asih yang telah melahirkan dan memebsarkanku   
Adalah pendiri Tanah Suci Barat, Amitabha Buddha Yang Mulia.   
………………………”

Cerita tentang Shotoku yang Buddhis juga ada dalam Nihon Shoki. Nihon selesai ditulis 100 tahun (720 M) setelah Shotoku meninggal (622 M). Jogu Shotoku Hoo Teisetsu, biografi Shotoku, juga ditulis antara tahun 701 M-715 M dan juga menyebutkan bahwa Shotoku adalah seorang Buddhis. Semua catatan sejarah mengatakan bahwa Shotoku adalah Buddhis, meskipun kebanyakan dari mereka ditulis setelah Shotoku meninggal. Namun toh bedanya cuma 100 tahun, tidak terlalu jauh bukan! Kemungkinan besar malah lebih akurat, karena dicatat hanya dalam jangka waktu 100 tahun dari kejadian yang sebenarnya   

Maka saya lebih percaya catatan sejarah zaman lampau seperti Nihon Shoki ataupun Jogu Shotoku, daripada para sejarawan Keikyo yang hidup pada abad ke-20 (kira-kira 1300 tahun lebih sejak zaman Shotoku) dan mengklaim sembarangan dengan hanya berdasarkan spekulasi semata tanpa adanya bukti. Sungguh memalukan.
 Logged
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.
Re: Menyanggah Klaim Umat Kristiani atas agama Buddha
« Reply #7 on: 07 September 2008, 06:46:13 PM »
Legenda Shotoku Taishi berasal dari legenda Yesus. Contohnya yaitu Shotoku dan Yesus sama-sama lahir di kandang dan ibu mereka sama-sama mendapat suatu “wahyu”. Kemudian contoh lainnya adalah suatu hari Shotoku Taishi memberikan pakaian dan makanan pada seorang yang sekarat. Namun tak lama kemudian orang tersebut meninggal dan dikubur. Ketika petinya dibuka, ternyata mayatnya tidak ditemukan (hilang) yang tertinggal adalah pakaiannya (sama seperti kebangkitan Yesus yang hanya meninggalkan pakaian).   

Jawab: Sepintas memang masuk akal. Tetapi apabila dilihat-lihat lagi, ternyata Shotoku Taishi terlahir di kandang kuda, sedangkan Yesus dilahirkan di kandang domba. Dari semula saja kandangnya saja sudah lain. Kenapa tahu bahwa Shotoku Taishi dilahirkan di kandang kuda? Ini karena pada waktu itu legenda mengisahkan bahwa Bodhidharma bermenasi menjadi kuda di kandang tersebut dan meringkik 3 kali (KitØ, Daruma no shoos,526). Dalam Nihon Shoki juga menyebutkan sebagai berikut:   

“Shotoku adalah anak kedua Kaisar Yomei. Ibunya, sang ratu bernama Anahobe no Hashihito. Pada hari di mana Shotoku lahir, ia pergi berkeliling istanya untuk menginspeksi para pejabat pemerintahan. Ketika ia datang di bagian Birokrasi Kuda, ia masuk sejauh sampai di depan pintu kandang. Tiba-tiba ia melahirkan tanpa rasa sakit. Shotoku sudah dapat berbicara ketika lahir dan memiliki kebijaksanaan seorang yang suci.”   

Dalam Jogu Shotoku hoo teisetsu:   
“Ketika Anahobe no Hashihito, ratu dari Kaisar Yomei, pergi keluar menuju pintu kandang, tiba-tiba ia melahirkan bayi Shotoku Taishi.”   

Dalam biografi Shotoku, Tamenomori menulis,   
“Sang pangeran dikenal dengan 3 nama. Yang pertama, ia dipanggil Umayado Toyotomimi no Miko. Ini karena ia terlahir di samping kandang kerajaan….”   

Di sini kita bisa melihat adanya perbedaan yang cukup banyak antara kelahiran Shotoku Taishi dan Yesus, yaitu:   
1. Shotoku di kandang kuda, tepatnya di DEPAN PINTU KANDANG sedangkan Yesus dilahirkan DI KANDANG domba dan dibaringkan di palungan (tempat makan minum domba). Shotoku tidak dibaringkan di palungan.   
2. Shotoku terlahir di kandang kerajaan sedangkan Yesus tidak.   
3. Lahir tanpa rasa sakit dan dapat berbicara ketika lahir, sama sekali tidak mirip dengan kelahiran Yesus. Malah kelahiran Shotoku ini lebih mirip dengan kisah kelahiran Bodhisattva Siddharta Gotama yang juga tanpa rasa sakit dan setelah lahir langsung dapat berjalan tujuh langkah dan berbicara.   
4. Sebelum lahir, ibu Shotoku bermimpi Guze Bosatsu (salah satu perwujudan Avalokitesvara) memasuki rahimnya. Hal ini lebih mirip cerita tentang ibu Mahamaya yang bermimpi bahwa Bodhisattva dalam wujud gajah bergading enam memasuki rahimnya, daripada kisah malaikat Gabriel yang muncul di hadapan Maria dan memberitahukan bahwa Maria akan mengandung. Di sini kan malaikat Gabriel tidak masuk ke dalam rahim Maria. Maka tentu sangat berbeda dengan Guze Kannon yang memasuki rahim ibu Shotoku.   

Sedangkan kisah orang yang meninggal lalu setelah kuburannya dibuka ternyata mayatnya hilang, saya rasa lebih didasarkan pada legenda Bodhidharma ketimbang kebangkitan Yesus. Mengapa? Coba simak:   

Tiga tahun setelah kematian Bodhidharma, legenda mengatakan bahwa seseorang bernama Song Yun dari Wei Utara bertemu dengan Bodhidharma membawa satu sepatu di punggungnya dalam perjalanan ke barat setelah Beliau dianggap meninggal. Song Yun kemudian mencerotakan kejadian itu pada kaisar Xiaozang. Setelah itu untuk mengecek apakah benar Bodhidharma, maka dibukalah makam dan peti mati Bodhidharma. Ternyata peti mati tersebut kosong dan yang ada hanyalah satu buah sepatu. Legenda ini muncul dalam teks C’han yang ditemukan di Dunhuang berjudul Litai Fa Bochi (774-781 M)   

Namun saya belum pernah menemukan ajaran Buddha untuk membangkitkan diri sendiri dari kematian. Kalau membangkitkan orang mati, memang ada, sepanjang jivita rupa-nya masih ada, maka kemungkinan orang tersebut dapat dibangkitkan kembali. Atupun juga sebelum 49 hari (?). Namun mengingat Bodhidharma sudah 3 tahun, maka ini akan sangat membingungkan. Dalam waktu selama itu, apa masih bisa bangkit dari kematian? Saya akan mencoba untuk menyodorkan  kisah yang mirip dengan Bodhidharma, yang saya anggap dapat menjawab pertanyaan ini, coba simak lagi:   

“Ling Shouguang, pada umur lebih dari 70 tahun, berhasil menguasai metide membuat pil “pembungaan merah terang” Yang ia satukan dan cernakan….. Pada tahun pertama Latter Han periode jianan (196 M), ia sudah berumur 220 tahun. Kemudian, tanpa adanya tanda-tanda suatu penyakit, ia “meninggal” di rumah Hu Gang di Jiangling. Ratusan tahun setelah pemakamannya, seseorang melihat Ling di Xiaohuang. Orang ini mengirim surat ke Hu Gang dan setelah menerima dan membaca surat tersebut, langsung menggali dan membuka peti mati Ling dan melihat ke dalam, ternyata peti matinya kosong dan yang tertinggal hanyalah sebuah sepatu tua.”   

Sangat mirip bukan dengan kisah Bodhidharma? Itu adalah teknik “Simulasi Mayat” atau “Mayat Tiruan’. Teknik ini telah ada sebelum Buddhisme sekte Ch’an (Zen) muncul di Tiongkok. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di buku To Live Long as Heaven and Earth : A Translation and study of Ge Hong’s Traditions of Divine Transcendents. Oleh karena itu kematian Bodhidharma tersebut bukanlah kematian sungguhan, melainkan teknik “Mayat tiruan”. Oleh karena itu sangat berbeda dengan kisah kebangkitan Tuhan Yesus yang konon mati sungguhan terus bangkit lagi.   

Lantas apa hubungannya dengan cerita Shotoku Taishi? Inilah hubungannya:

Suatu hari, Pangeran Shotoku berjalan-jalan di dekat desa Gunung Kataoka 片岡 dekat Vihara Horyuji. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang miskin sekarat dan Shotoku memberinya sebuah pakaan berwarna ungu serta makanan. Mereka berdua kemudian bertukar puisi. Laki-laki tersebut meninggal keesokan harinya. Ketika Shotoku di mana laki-laki tersebut sekarang, asistennya memberitahu bahwa laki-laki tua miskin tersebut sudah meninggal. Shotoku kemudian memerintahkan asisten-asistennya untuk membuka kuburannya. Di dalamnya mereka tidak menemukan mayat sang laki-laki, yang terlihat hanyalah pakaian ungu yang terlipat rapi. Shotoku kemudian berkata: "Ia pastilah Bodhidharma, sang pendiri Zen!” Masyarakat pada waktu itu juga berkata bahwa “Benar sekali bahwa seorang suci mengetahui seorang suci (How true it is that a sage knoweth a sage). Dibutuhkan orang suci untuk mengenali orang suci lainnya! (It takes a holy man to recognize another holy man!) Kisah ini juga terdapat dalam Nihonshoki bab 22.   

Shotoku dianggap sebagai emanasi Nanyue Huisi (517-77). Huisi dahulunya adalah murid Bodhidharma. Ketika mereka berdua bertemu di Gunung Tiantai, Bodhidharma mengatakan bahwa mereka berdua akan bertemu kembali di Jepang pada kelahiran berikutnya. Dalam Nihonshoki, seorang tua miskin tersebut diidentifikasi sebagai “immortal”, oleh karena itu tak heran apabila ia menguasai teknik “Mayat Tiruan” (shijie). Banyak kasus berkenaan dengan teknik “Mayat Tiruan” yang digunakan untuk “membebaskan diri”.   

Ayah istri Ge Hong, seorang Taois, yaitu bernama Bao Jing mendapatkan transmisi metode “Mayat Tiruan” ini dari Tuan Yin Changsheng. Demikian juga dengan kisah seorang bernama Zuo Ci juga menggunakan teknik yang sama. Dan ada satu cerita lagi berdasarkan Catatan Silsilah keluarga Li Shaojun:   

“Li Shaojun memiliki metode esoteric untuk keabadian, namun karena keluarganya miskin maka ia tidak mampu untuk membel;I bahan-bahannya. Ia kemudian menyumbangakan dirinya di istana Han dengan tujuan untuk mendapatkan uang dana. Ketika jalannya telah selesai, ia kemudian pergi. Dan kemudian juag berdarakan Catatan Aktivitas Kerajaan Han: “Ketika Li Shaojun hendak pergi, Kaisar Wu bermimpi ia mendaki Gunung Songgao bersamanya. Ketika sudah setengah jalanm, seorang penyampai pesan dengan mengendarai seekor naga dan memegang catatan angka muncul dari awan dan memberitahu bahwa Taiyi mengundang Li Shaojun. Kemudian Kaisar bangun dan memberitahu pelayannya, “Apabila mimpiku benar, maka Li Shaojun akan segera pergi meninggalkan kita.”Beberapa hari kemudian, Li Shaoujun diberitakan sakit dan meninggal. Kemudian suatu hari Kaisar memerintahkan seseorang untuk membuka peti mati Li Shaojun dan ternyata setelah dibuka, mayatnya telah hilang, yang ada hanaylah pakaian dan topinya.”   

Berdasarkan Scripture of Trancendence ada tiga level praktisoner: tinggi (Tian Xian), tengah (Di Xian) dan rendah (Shijie Xian) di mana ia sudah menguasai dan menggunakan teknik “Mayat Tiruan” pada dirinya (membebaskan diri dengan menggunakan mayat tiruan). Keberadaan para Xian (Immortal) ini juga disebutkan oleh Sang Buddha dalam Shurangama Sutra.

Oleh karena itu kisah Bodhidharma di Tiongkok dan Jepang ini, sama sekali tidak mirip dan tidak sama dengan kisah kebangkitan Yesus. Karena sebenarnya hanya merupakan teknik “Mayat Tiruan”.
Re: Menyanggah Klaim Umat Kristiani atas agama Buddha
« Reply #8 on: 07 September 2008, 06:49:37 PM »
Nama “Hata” (秦氏) mirip dengan pagoda Daqin (大秦) , pagoda agama Nestorian. Keduanya sama-sama memiliki karakter huruf Qin (秦). Daqin memiliki arti bangsa Romawi, yaitu bangsa di mana Nestorian berasal. Oleh karena itulah klan Hata adalah kaum Nestorian yang berasal dari Assyria.   
Uzumasa-dera (太秦寺) nama lain dari Vihara Koryu-ji, mirip dengan tempat ibadah Nestorian (大秦寺). Bedanya hanya 太 dan 大. Uzumasa juga dapat diartikan “Yesus(Uzu) Messiah(Masa)”.
Demikain juga dengan Osake Jinja (大酒神社) , karakter asalnya sebenarnya adalah 大辟神社, “辟” di sini berarti “putra surga”. Sedangkan “David” dalam Mandarin disebut sebagai 大闢 (Dabui). “辟” adalah bentuk simplified dari “闢;. Oleh karena itu Osake Jinja adalah kuil bagi David, yang merupakan leluhur Yesus.   

Jawab: Kalau memang bangsa Hata berasal dari Assyria atau Roma, maka seharusnya mereka menggunakan kata “Daihata” (大秦氏). Kenapa? Karena Daqin (大秦) dan Qin (秦) adalah berbeda. “Daqin” adalah Romawi, sedangkan “Qin” adalah Dinasti Qin atau Tiongkok. Kenapa kok bisa mirip? Ini dikarenakan Romawi dan Tiongkok sama-sama merupakan pusat dari jalur perdagangan:

Following the opening of the Silk Road in the 2nd century BC, the Chinese thought of the Roman Empire as a civilized pendant to the Chinese Empire. The Romans occupied one extreme position on the trade route, with the Chinese located on the other, hence the "mirror" name.

Dan menurut Gan Ying, disebabkan oleh karena miripnya orang Romawi dengan Tiongkok yaitu sama-sama tinggi dan jujur. (Daqin in the Later Han Hou Hanshu)   

Oleh karena itu jelas “Qin” yang dimaksud dalam Hata bukanlah “Daqin” tetapi “Qin” yang berarti Dinasti Qin. Ini juga sesuai fakta bahwa klan Hata adalah keturunan Qin Shihuang dan mereka adalah orang Tionghoa, BUKAN orang Assyria maupun Romawi.   

Mengenai Uzumasa-dera dan tempat ibadah Nestorian, walaupun mirip keduanya berbeda. Yang pertama antara 大(da -besar) dan 太(tai -agung) saja sudah berbeda walaupun mirip. Itulah huruf Tionghoa, mirip tapi artinya lain. Huruf “秦”(Qin) dalam “Uzumasa” berdiri sendiri dan artinya adalah Dinasti Qin (Tiongkok).    

Sedangkan Huruf “秦” dalam sebutan tempat ibadah Nestorian, tergabung dengan huruf “大”, yaitu “大秦”(Daqin) yang artinya Romawi. Jadi sebenarnya Uzumasa-dera memiliki arti “Vihara Dinasti Qin Agung” sedangkan tempat ibadah Nestorian (大秦寺) artinya adalah “Kuil Romawi”. Oleh karena itu keduanya berbeda.    

Uzumasa juga mempunyai arti lain, tapi BUKAN “Yesus Messiah”, yang sebenarnya adalah Uzumasa berarti “to increase and pile up.”(meningkatkan dan menumpuk). “Uzu” or “Utsu” berarti langka(rare) atau berharga, and “masa” berarti baik (fine), superior. Dan memang klan Hata pandai membuat sutra serta menjaga sutra langka yang diproduksi dengan kualitas yang baik. (Kogoshui, Gleanings from Ancient Stories).   

Mengenai Osake Jinja (大辟神社), sebenarnya “闢” dalam “大闢”(David) memang bentuk simplifiednya adalah “辟”. Namun huruf  tradisonal “闢”(pi-nada keempat) sebenarnya memilki arti “menolak”. Sedangkan dari dulu sudah ada huruf tradisional “辟” (bi –nada keempat) yang artinya raja atau bangsawan. Tidak ada yang menyebut huruf “辟”memiliki arti ‘putra surga’, yang paling mendekati mungkin “raja’   
Oleh karena itu jelas bahwa (pi nada keempat) 闢 yang dsimplifiedkan jadi 辟 memiliki arti “menolak”, jadi tidak mungkin huruf “辟” dalam Osake Jinja yang memiliki arti “raja”, disamakan dengan “闢” dalam kata David yang memilki arti “menolak”.   

Coba lihat:   
1. 辟(traditional) baca: “bì” = king; emperor; monarch; royal, ward off (raja, bangsawan, menangkis)
2. 辟(traditional) baca: “pì” = law (hukum)   
3. 闢(traditional) - 辟(simplified) baca “pì” = dispel; open up; refute (menolak)   

Jadi “辟” dalam osake Jinja berarti raja/bangsawan, sedangkan “闢/辟” dalam David artinya menolak. Maka adalah suatu hal yang tidak mungkin apabila Osake (Osake Jinja) diterjemahkan sebagai David (Kuil David).   

Tidak mungkin kan “辟” dalam Osake “大辟” berarti “menangkis atau menolak”? Mau jadi apa artinya nanti? Apalagi sang peneliti dari pihak Keikyo terburu-buru untuk mengartikan 闢 dan 辟 sebagai “putra surga”, padahal kalau ditilik lagi arti sebenarnya adalah “menolak”. Jauh sekali!!!

Kesimpulan: Tidak ada BUKTI yang kuat mengenai kedatangan kaum Nestorian ke Jepang dan tidak ada catatan sejarah yang mengatakan bahwa Nestorian (Keikyo) datang ke Jepang dalam misi misionaris. Kebanyakan cerita hanya berdasarkan desas desus maupun inspirasi saja atau spekulasi-spekulasi.
Re: Menyanggah Klaim Umat Kristiani atas agama Buddha
« Reply #9 on: 07 September 2008, 06:57:36 PM »
Quote from: GandalfTheElder on 07 September 2008, 05:17:46 PM
3. Paul Hattaway adalah pemimpin dari Asia Harvest, sebuah badan yang bertujuan untuk 'menananmkan' gereja di Asia.
kalo ndak salah, asia harvest ini yg dulu pertama mempublish kesaksian si paul mantan bhikkhu yg bangkit dari kematian dan melihat buddha di neraka 
 Logged
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path
Re: Menyanggah Klaim Umat Kristiani atas agama Buddha
« Reply #10 on: 07 September 2008, 10:19:53 PM »
Kalau DISCOVERY CHANNEL, malah pernah mendokumentasikan perjalanan jurnalisnya untuk mengungkap "ISU"/LEGENDA/CERITA bahwa  PERNAH KE HIMALAYA (TIBET) berdasarkan sinopsis dari buku NICOLAI NOTOVICH yang menyatakan bahwa  PERNAH BERKUNJUNG DAN HIDUP DI HIMALAYA.

Saya pernah nonton film dokumenter-nya DISCOVERY CHANNEL tersebut. Walaupun tidak ada konklusi dan bukti langsung, tetapi LEGENDA bahwa  pernah ke HIMALAYA itu diketahui oleh banyak orang.
 Logged
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan ackDanielMaklum.... saya masih belum tahu cara bagaimana buat pdf... 
The Siddha Wanderer
 Logged
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.